
Ada banyak alasan kenapa seseorang memutuskan untuk menjadi buruh lepas, bahasa kerennya freelance. Buat saya, menjadi buruh lepas, awalnya karena “terpaksa.” Saya diharuskan dokter minum obat penyeimbang hormone, yang konsekuensinya mengganggu mood. Naik turun, bisa seharian nangis, bisa seharian marah. Alhasil, saya memutuskan untuk jadi buruh lepas saja, daripada mengganggu sistem kerja yang rutin dan ganggu mood kawan-kawan di kantor.
Agustus 2018, saya resmi mengundurkan diri dari kantor. Dua bulan tidak bekerja, menghabiskan tabungan dan akhirnya mulai lagi dari awal. Menerjemahkan subtitle film dengan honor per kata sekian rupiah, sampai menjadi penerjemah di sebuah pertemuan. Semuanya dijalanin buat menyambung hidup. Oktober 2018, saya dapat kontrak menjadi konsultan di sebuah yayasan nilainya lumayan dan timnya asik. Kontrak saya masih terus jalan sampai 2020, Alhamdulilah.
Turun naik penghasilan setiap bulan itu konsekuensi dari buruh lepasan, sementara tagihan bulanan tetap, ye kaan. Pernah ada sekali waktu ATM seperti tumpah ruah, karena ga pernah terima sebanyak itu, eh taunya saya bakal tak terima honor selama 3 bulan. Jadilah apa yang ditabung harus dikuras kembali. Untuk yang mendambakan keamanan finansial, harap jangan mengambil langkah ini, kecuali kamu termasuk orang dengan kemampuan manajerial keuangan yang baik.
Kata orang, freelance menang dipenguasaan waktu. Tergantung kawan. Kadang saya bisa ga tidur berhari-hari karena harus menyelesaikan laporan. Agustus lalu, saya tidak pulang 2 minggu karena event dari tiga klien berturut-turut. Sehabis itu tepar blas. Intinya gini, jadi buruh lepas itu kan bukan berarti kamu kerja sendirian. Your client is your team. Ga bisa dong seenaknya kamu menentukan meeting hari Minggu sementara kantor client lagi liburan. Atau kirim laporan hari Minggu lalu minta di fast respond. Atau misalnya client mu di luar negeri yang jelas beda waktu, iya kali kamu yang menentukan semuanya. Lagi-lagi ada kompromi.
Kemenanganmu adalah ketika menentukan produktivitas kerja. Ketika kantoran, kamu “dipaksa” bekerja 8 jam sehari, mau produktif atau ngga, pokoknya harap hadir 8 jam di kantor. Sementara bagi buruh lepas, kamu bisa mengatur produktivitasmu sendiri. Saya bisa menyelesaikan tugas dalam waktu 3 jam tanpa diganggu ina inu yang biasanya muncul saat ada di kantor. Habis itu, saya bisa mengerjakan hal lain, urusan domestic misalnya.
Kemenangan lainnya punya waktu lebih bareng keluarga. Saat kerja kantoran, sebagian besar waktumu habis di jalan, bukan di kantor malah. Kalau sedang di Jakarta, untuk meeting pukul 10, saya sudah harus bersiap sejak pukul 6. Beresin rumah, mandi, sarapan, berhitung jarak ke tempat meeting dan lain-lain. Kalau harus sampai kantor pukul 8.30, maka dari rumah saya harus cus pukul 6, paling lambat 6.30 dari Cinere.
Ketika jadi buruh lepas, saya cuma cuci muka, kalau perlu sikat gigi (kalau perlu!) langsung kerja, kantornya di kamar tamu persis sebelah kamar saya. Biasanya bangun pukul 4.30, habis subuh tidur lagi, kalau ga ya baca buku. Tapi benar-benar buka laptop dan bekerja itu pada pukul 09.00. Seperti layaknya orang kantoran.
Jadi buruh lepas, saya punya kesempatan untuk melompat ke bidang yang lebih luas. Saya pada akhirnya bukan spesialis tapi palugada, apa lu mau gue ada. Menclok antara urusan riset media, jurnalis, social enterprise, pemetaan pemangku kepentingan, pengembangan ekonomi masyarakat, sampai ke urusan pengarusutamaan gender. Terakhir saya belajar jadi akuntan sosial. Skill utama saya tetap di fasilitasi dan komunikasi, ditambah peminatan di bidang politik. Uhuy ga tuh.
Tappiiiii….. freelance is a lonely road.
Bagi extrovert seperti saya, menjadi buruh lepas itu jalan yang sepi. Diskusi dengan diri sendiri, marah dengan diri sendiri, bahkan bertanya pada diri sendiri. Staf meeting ya dengan diri sendiri di depan laptop, just me and google mostly with google translate J Tidak ada lawan bicara itu siksaan terberat buat saya lebih berat daripada ga gajian. Akan lebih mudah jadi buruh lepas kalau kamu introvert, memang. Sementara saya, harus ketemu orang lain. How to handle it? sebisa mungkin bertemu dengan orang lain, selain anggota keluarga hanya untuk ngupi dan bicara ngalor ngidul.
Last but not least, jadi buruh lepas harus punya support system yang kuat. Saya tidak punya dan masih berjuang segalanya sendirian. Berat, jelas! Sebagai pencari nafkah utama, jadi buruh lepas itu sangat berat. Saya harus banyak berhitung, misalnya dengan tanggungan sebesar X rupiah, maka saya harus punya orderan kerja minimal 2x Y / bulan (biar keliatannya paham matematika). Kalau target tidak tercapai, maka saya harus punya strategi B-Z. Strategi keuangan yang saya siapkan antara lain, menabung, harus! Saya punya tabungan kas yang bisa diambil kapan saja saat butuh. Sebisa mungkin tidak menyimpan dana cadangan di Bank, karena jempol ini suka gatel buat belanja. Saya harus melindungi diri sendiri lewat asuransi, bayar premi masukan sebagai tanggungan bulanan yang harus dihitung. Plus, sudah lima tahun ini saya tidak punya Kartu Kredit, karena dia lebih jadi beban daripada membantu.
Beberapa kawan bertanya untung ruginya jadi buruh lepas pada saya. Saya kembalikan lagi pada alasan awal kamu menjadi buruh lepas. Sekarang saya bisa bilang menjadi buruh lepas menyenangkan, meski duitnya ketar-ketir, bahkan pernah sahabat mengirimkan GoPay 200ribu supaya saya bisa jajan, makasih ndut. Saya menikmati roller coasternya jadi buruh lepas, karena yang paling penting buat saya adalah punya kesempatan belajar lebih banyak, jaringan lebih luas, dan punya waktu buat keluarga. Soal uang, lagi-lagi dimulai dengan Ikhlas, mungkin ini absurd, tapi saya percaya jika sesuatu dikerjakan dengan gembira, hasilnya akan baik. Dan rezeki bukan melulu soal finansial. Itu saja.
gambar; google (ga ada perempuan gitu gambarnya huh!)
saya salah satu pembaca anda. saya juga punya pengalaman yang sama. Tiga tahun lalu, saya memilih mundur dari pe en es, dan jadi freelancer. kadang ATM penuh kalau ada pencairan pekerjaan, tapi menipis pelan2 karena bulan berikutnya tidak ada pemasukan. memang ada suka dan duka. btw, kita juga bergerak di bidang yang sama yakni komunikasi. kalau ada waktu, bolehlah ngopi2 sambil bercerita pengalaman freelance.
thanks.
waah siap. terima kasih sudah mampir. sukses buat freelance nya yak. tos lah kita.
Kak, dimana cari lowongan penerjemah subtitle? Terima kasih
waduh. kemarin saya lewat pertemanan. jadi tidak tahu jalur yang resmi