Suatu hari berkumpul sekelompok anak muda di sebuah kampus di Jakarta, kami berbincang ngalor ngidul sampai pada pertanyaan tentang pelajaran apa di SMA yang paling berguna di kehidupan selanjutnya. Jawaban beraneka, tapi hampir semuanya bersepakat, apa guna pelajaran Matematika tentang cotangent, sinus, cosinus… jiah yang sampai saat ini ditulis, saya sama sekali tidak ingat itu apaan. Yang saya ingat, semua tertawa… iya, apa guna itu dipelajari ya?
Voila! Hidup di dunia digital, matematika tetap menjadi raja ilmu pengetahuan. Algoritma yang mengatur ‘hidup’ antara nyata dan tak nyata, yang mengubah hal maya menjadi nyata, kuncinya ada di ilmu matematika. (lalu saya tertunduk, kenapa juga dari dulu bodoh sekali aku neh di matematika)
Buku ini ditulis oleh Cathy O’Neil, ahli matematika yang bekerja warawiri di perusahaan penambang data. Apa yang dipaparkan O’Neil di bukunya, bikin merinding, dystopian literature. Seperti Orwell dalam bentuk kekinian, hidup kita ini tak lebih seperti angka yang diutak-atik dan disajikan ulang sebagai semua pola.
Mereka yang miskin tinggal di daerah kumuh, pemukiman miskin yang dalam catatan kepolisian ada banyak kejahatan jalanan terjadi di sana, dalam catatan perbankan, mereka jelas bukan calon peminjam yang baik buat bank, terlalu berisiko meminjam uang kepada mereka. Lalu sekolah yang ada di sana, barangkali guru-guru dengan kualitas seadanya dengan fasilitas seadanya. Lalu apa yang terjadi? Kemiskinan yang abadi….
Sekolah berlomba-lomba mengejar prestasi, akreditasi yang ditengok dari apa? Di Amerika dan Inggris dinilai dari jumlah penghasilan alumninya, dari berapa banyak alumni yang ‘sukses’ secara materi, dari berapa banyak alumni yang terserap dalam dunia kerja. Bayangkan jika sekolah itu sekali lagi tidak ada biaya untuk peningkatan fasilitas dan kualitasnya dan berada di daerah ‘miskin’… apa yang dihasilkan? Alumni yang berjuang lebih keras karena CV mereka tidak menarik di dunia kerja, dunia perbankan dan sebagainya… sekali lagi pemiskinan yang abadi. Kalau kamu pernah melakukan kenakalan remaja, datamu ada abadi dalam digital record, selamanya itu akan jadi pertimbangan bagi calon pimpinan merekrutmu sebagai karyawan.
Membaca buku ini seperti dibawa kembali ke masa kuliah di Kriminologi UI. Stigmatisasi yang mengekalkan seseorang menerima diskriminasi. Bekas junkie, bekas napi, seperti masa lalu, stempel keluarga PKI di KTP yang membuat tujuh keturunannya susah meningkatkan kehidupannya. Stigmatisasi itu sekarang dalam bentuk digital, big data. Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya. Jika ada yang bisa melewati Batasan itu, dianggap unique number, sebuah pengecualian.
Matematika menjadi senjata mematikan di era digital jika digunakan untuk mendiskriminasi perlakukan polisi terhadap masyarakat, bank terhadap calon debitur, sekolah terhadap calon murid bahkan gurunya.
Pada kesimpulannya O’Neil bilang, seperti cita-cita digital yang ingin membuat dunia ini transparan, begitu juga seharusnya Big Data diperlakukan. Seharusnya kita punya hak untuk mendapatkan informasi bagaimana data pribadi kita digunakan oleh bank, sekolah, polisi dan politisi. Kita punya hak untuk memperbaiki informasi salah yang mereka terima tentang kita. Kita punya hak untuk menolak data kita digunakan untuk kepentingan materi pihak-pihak tertentu…
Oh iya… do you ever wonder kenapa rumus badan ideal itu, berat badan : tinggi badan (M) kuadrat (BMI)? Darimana rumus itu muncul dan untuk apa? Tanyakan saja pada perusahaan obat diet, ahli nutrisi dan pengusaha gym 😉