Nikah Yuk, how hard it can be to be my wife (for political reason)

Standar

Marriage is a political matter. Foucault bilang, salah satu cara mengendalikan rakyat adalah dengan mengendalikan alat reproduksi, dan seks. Keluarga Berencana di Indonesia untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk yang bakal membuat pemerintah kewalahan memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya untuk sandang, pangan dan papan. Sementara Jepang mulai panic karena jumlah orang tua lebih banyak daripada generasi produktif dan anak muda makin enggan menikah apalagi punya anak, padahal pembangunan dan roda ekonomi harus ada yang menjalankan. Serbia pun demikian. Ide-ide pemurnian darah, menikah hanya dengan suku sendiri dan seiman. Atau ide untuk menyelamatkan harta warisan pun bukan sekedar gambaran di sinetron. It did happen, it is political.

‘Nikah yuk Nit. Kamu bisa jadi ibu yang baik buat anak-anak kita.’ Kata sahabat saya dari Brasil. Tapi saya tahu itu becanda. Dia tidak mau kembali ke Brasil yang sedang kacau. Menikahi saya dan ikut pindah ke Indonesia bisa jadi salah satu cara untuk menghindar ketidakpastian hidup di Brasil. Tidak ada ruginya sih menikahi dia, ganteng bak Lanny Kravitz, pintar… mungkin ga rasa tumbuh belakangan? Mungkin saja… saya menjawab dengan tawa terbahak-bahak… menikah belum masuk dalam prioritas hidup saat ini.

Minggu pertama di London, kawan saya bilang begini

‘Pacar saya cuma dapat dua tahun visa di Inggris, sementara saya dapat lima. Saya akan menikahinya supaya dia bisa ikut terus sama saya.’

Awalnya saya melongo, gampang betul menikah ya. Sementara saya tunangan hampir lima tahun, selalu saja terbentur alasan yang menunda kami bersama. Satu dan lain hal. Lalu teman saya bilang, itu rasanya yang disebut jodoh, tidak perlu overthinking, jalanin aja. Tapi kan menikah bukan seperti bungee jumping, terjun aja. Bahkan bungee jumping butuh alat pengaman yang memenuhi standar international. Begitu juga dengan menikah. Teman saya memang akhirnya menikahi pacarnya dan mereka tak lagi punya isu soal visa sampai lima tahun ke depan, paling tidak.

‘Menikah saja, nanti kalau tidak cocok, ya cerai.’ Kata sahabat saya yang lain.

Kalau Cuma untuk bercerai, ngapain repot menikah, menyatukan dua keluarga, buang-buang waktu, tenaga dan perasaan.

Lalu bertemu lah saya dengan pasangan sempurna ala telenovela, macam Justin Trudeau dan Sophie istrinya, atau Barack dan Michelle Obama. Sempurna untuk tampil di media dengan kemesraan yang dicetak public relation dan konsultan komunikasinya. Dalam politik, penokohan politikus yang cinta keluarga, ayah dan suami sempurna bagi istrinya adalah penting, seperti digambarkan Niccolo Machiavelli dalam buku The Prince.

Maka jika ingin terjun ke dalam dunia politik, kamu membutuhkan pasangan yang tidak sekedar berlandaskan cinta, tapi butuh kerja tim. Pasanganmu harus sama bisa memainkan peran dan karakter penyeimbang, mendukung satu sama lain, sempurna di mata publik baik tampilan fisik maupun isi kepala. Itulah politik.

London adalah kota yang romantis, pasangan bergandengan tangan dan menunjukkan rasa di depan publik dengan mesra menjadi sesuatu yang biasa. Tapi di balik itu semua, saya jadi meragu tentang cinta, cerita dan citra…. Semua macam politik, yang kata teman saya, di dalamnya tak perlu pake rasa, ini hanya politik, bisnis, dan cinta bukan lagi sekedar rasa.

Jadi besok kita ke Paris untuk jalan-jalan romantic okay? Kamu kan bakal jadi istri aku….

Lalu saya tertawa lebih kencang…

marriage

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s