Tag Archives: resensibuku

Kesederhanaan, Empati dan Berbahasa Manusia, Kunci Sukses Sebuah Produk dan Gerakan. Review The Simplicity Playbook for Innovators – Jin Kang Moller

Standar
Kesederhanaan, Empati dan Berbahasa Manusia, Kunci Sukses Sebuah Produk dan Gerakan. Review The Simplicity Playbook for Innovators – Jin Kang Moller

Buku ini merangkum pengalaman saya selama bergaul dengan para wirausaha sosial, sosial bisnis, fasilitator, teman-teman aktivis dan juga privat. Cara kerja boleh berbeda, tapi sebenarnya kalau segalanya dikerjakan dengan empati, tentu kita tak perlu mendengar ada ketidaksetaraan kesempatan, eksploitasi, kegagalan kampanye dan memahami kebutuhan sebenarnya di lapangan – mitra kerja, penerima manfaat atau kalau bahasa swasta, konsumen.

Buku ini ditujukan Jin Kang sebagai desainer project specialist untuk dunia bisnis yang orientasinya pada profit – keuntungan. Tetapi membacanya sampai akhir, tentu saja menjadi sangat berguna untuk kita yang bekerja di dunia sosial. Ini persis yang diajari dalam profesi fasilitator, membuat segalanya mudah untuk mencapai tujuan utama.

Di tengah kerumitan, dan dunia yang bergerak sangat cepat, kita membutuhkan hal sederhana, mudah dicerna, mengena sesuai kebutuhan kita. Buku ini dibuka dengan kutipan: siapa saja yang bodoh bisa membuat sesuatu menjadi besar dan rumit, tapi butuh sentuhan seorang jenius dan banyak keberanian untuk menggerakkannya- mengubahnya ke arah berbeda – Ernst F. Schumacher.

Kata sederhana bisa diartikan mudah digunakan dan dipahami, tetapi sederhana punya makna lebih luas sebagai sebuah prinsip – perasaan tenang, focus dan percaya diri. Maka simplicity atau kesederhanaan disimpulkan Jin Kang sebagai pengalaman untuk membuat sesuatu menjadi sederhana dan meninggalkan dampak emosional bagi penggunanya. Dia percaya kesederhanaan dalam proses, penyampaian dan produk akan mengarahkan seseorang untuk berubah dan melakukan perubahan. Kesederhanaan juga menciptakan dampak yang lebih nyata.

Setelah menetapkan untuk membuat suatu produk atau gerakan atau kampanye dengan lebih sederhana dan mengena, maka kita perlu mulai dengan modal dasar manusia, rasa empati. Kenapa sebuah produk gagal di pasaran, kenapa gerakan sosial tidak juga sukses meski bertahun-tahun dilakukan dengan berdarah-darah? Karena kita sebenarnya sok tahu aja ketika menyimpulkan tentang hal yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran. Kita tidak pernah benar-benar mendengarkan, melihat, merasakan langsung apa yang dibutuhkan mereka.

Ketika sudah ketemu kebutuhan, selanjutnya mengajak mereka terlibat dalam menyusun jawabannya. Berdansa bersama dalam kerumitan, membuat kita tidak merasa sendiri dan paling tahu tentang jawaban yang dibutuhkan. Design Thinking ini nama kerennya, mulai dengan riset, merancang produk, memetakan siapa saja yang dapat membantu, prototyping dan terus memonitoring. Selama proses berlangsung, gunakan bahasa manusia.

Percuma pakai bahasa indah berbuih-buih dan menggebu-gebu kalau konsumen, kelompok sasaran kita tidak paham yang kita maksud. Membangun rasa percaya, rasa nyaman mereka juga dimulai dengan bahasa yang kita gunakan.

Selebihnya kamu baca sendiri ya, sukses berinovasi. Jangan rumit-rumit, yang penting sederhana dan berdampak.

Iklan

Merangkul Perbedaan, Berbagi Kekuatan untuk Selamatkan Demokrasi. Review The New Class War – Michael Lind

Standar
Merangkul Perbedaan, Berbagi Kekuatan untuk Selamatkan Demokrasi. Review The New Class War – Michael Lind

Buku ini dibuat dalam konteks demokrasi di Amerika dan Eropa, supaya kita memahami konteks politik dan contoh-contoh yang digunakan di dalamnya. Buku ini buat saya bagus, karena mengganggu kenyamanan saya, karena mempertanyakan beberapa hal yang akan saya bagi di sini.

Tapi pertama Lind mengajak kita untuk kembali ke demokrasi pasca perang dunia I, ketika itu demokrasi merangkul kelas pekerja. Serikat Pekerja mendapatkan tempat setara dengan perusahaan dan keputusan politik dilakukan bersama. Kemudian demokrasi bergeser dikuasai teknokrat dan ideologi neoliberalisme dimulai saat Jimmy Carter memimpin Amerika – ya ternyata bukan Ronald Reagan seperti yang selama ini saya tahu – lalu diamini oleh sekutunya di Inggris Raya sana, mulai Theacher, Blair, hingga Teresa May.

Seperti juga gaung “tak ada kelas” oleh neoliberalisme, kelas pekerja semakin dipecah belah, serikat pekerja dilemahkan. Demokrasi dipercayakan pada elit yang duduk di perusahaan yang mengatur ekonomi negara berkongsi dengan pemerintahan. Di masyarakat, makin dipecahbelah, dengan ras, gender, agama, negara, dan isu imigrasi. Demokrasi mengalami pembusukan dengan masuknya politisi populis yang memanfaatkan isu ini untuk menarik suara mayoritas.

Para politisi populis memangkan suara terbanyak dalam demokrasi tanpa kemampuan untuk mengelola negara yang kemudian mereka lemparkan kembali pada anggota keluarga dan kroninya. Sebagai contoh Trump dan Boris Johnson, keduanya memanfaatkan isu imigrasi yang akan menghancurkan masa depan warga aseli karena pekerjaan akan direbut.

Tetapi bicara aspek ekonomi, knowledge economy yang digadang-gadang neoliberalis tentu saja juga hanya menguntungkan lingkaran mereka lagi. Logikanya siapa yang dapat akses pada pendidikan adalah keluarga kaya, yang ketika lulus pekerjaan dengan gaji aman sudah menanti. Lingkaran kekayaan akan bertahan selama lima generasi. Sementara bagi kelas pekerja, imigran, yang tinggal di kawasan dengan akses pendidikan berkualitas rendah akan sangat sulit bagi mereka menanjak ke kelas yang lebih tinggi.

Di bagian ini tiba-tiba saya merefleksi kebijakan zonasi dalam pendidikan di Indonesia, apakah zonasi juga tidak mengukuhkan kesenjangan kualitas pendidikan yang sudah ada sejak lama? Apa kabar anak-anak yang tinggal di kawasan kumuh tapi pintar, tapi karena kualitas pendidikan di sekitarnya tidak bisa mendukungnya, maka kemiskinan akan terus melingkar dalam keluarganya.

Sementara itu, isu imigran sebenarnya menguntungkan keluarga-keluarga kaya dan para pengusaha yang membutuhkan pekerja murah, tanpa beban tunjangan sebagaimana seharusnya. Sektor pekerjaan informal menjadi kantung pendapatan bagi kelas pekerja dari imigran. Pada akhirnya perusahaan-perusahaan besar itu tetap akan mencari buruh murah dengan mengalihkan pabrik mereka ke negara lain. Para konglomerat yang dipelihara dan disayangi pemerintah itu pun melarikan pajaknya ke negara bebas pajak. Lalu apa yang didapat negara dan rakyatnya?

Lind juga menceritakan bagaimana LSM juga dikuasai kaum elit yang cara pandangnya bukan mencerminkan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya tapi melayani donor yang mendanai mereka. Pendonor mereka tak lain dan tak bukan adalah para elit itu sendiri.

Di sisi lain, ini juga yang mengganggu saya. Ketika antimonopolis berinisiatif memperbanyak starts up, dan bisnis kecil seperti IKM, yang terjadi kemudian adalah perlindungan terhadap pekerja yang semakin lemah. Tidak terkontrolnya standar gaji dan hak-hak pekerja lainnya. Antimonopolis juga membuat pekerja tidak nyaman dengan mengharapkan mereka juga membangun usaha sendiri. Apa yang salah dengan hanya menerima gaji seperti pekerja lainnya? Kenapa harus punya usaha sendiri?

Inisiatif-inisiatif aspirin yang hanya meredakan sakit sesaat tapi tidak menyembuhkan sumber penyakitnya. Bahwa yang sebenarnya harus diperbaiki adalah sistem demokrasi itu sendiri. Jika demokrasi dibiarkan seperti sekarang, Lind yakin, Amerika dan Inggris Raya khususnya akan bernasib sama seperti Brasil dan Meksiko.

Lind menawarkan kembali pada demokrasi pluralism yang merangkul semua perbedaan yang ada, ras, gender, agama, kaum imigran diberikan kartu hijau setelah dua tahun berada dan bekerja di Amerika. Ada pembagian kekuasaan, memastikan setiap orang dapat memberikan pendapatnya melalui komunitas dan perkumpulan mereka, pastikan mendengarkan mereka. Kembali menguatkan serikat pekerja sebagai mitra dalam ekonomi. Memastikan tidak ada orang, warga negara yang merasa ditinggalkan dalam keputusan politik yang menentukan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya mereka.

Apa itu konformitas? Apakah kita harus maksain diri untuk bisa diterima masyarakat? Review Convenience Store Woman – Sayaka Murata

Standar
Apa itu konformitas? Apakah kita harus maksain diri untuk bisa diterima masyarakat? Review Convenience Store Woman – Sayaka Murata

Kalau kamu perlu bacaan novel yang ringan, menyenangkan sekaligus mengusik ketenangan jiwamu, novel ini saya sangat rekomendasikan. Novel 163 halaman ini bisa banget dibaca dalam waktu beberapa jam saja.

Sayaka Murata mengusik saya dengan pertanyaan apa itu normality atau menajdi normal, atau konformitas? Buat saya yang “tidak normal” karena selalu mempertanyakan kenapa harus begini dan begitu, buku ini seperti menelanjangi saya dengan cara yang lucu. Masyarakat selalu menuntut setiap individu di dalamnya to be fit in, mengikuti aturan yang ada. Jika tidak, maka dianggap bukan anggota komunitas, antara dianggap tidak ada alias didiamkan seperti benda mati, atau diusir sekalian. Setiap kita “terpaksa” mencari kelompok-kelompok yang seradar atau memaksakan diri agar bisa diterima sekitar, ya karena kita memang makhluk sosial. Manusia seperti bukan kucing yang soliter, dia sejenis hewan komunal.

Keiko Furukura tidak pernah mengerti kenapa dia dianggap tak normal dan perlu disembuhkan oleh keluarganya agar bisa bertahan hidup di tengah masyarakat. Ketika di sekolah dasar seekor burung mati, ibunya bilang, “apa yang harus kita lakukan?” dia menjawab, “kita goreng, ayah kan suka.” Lalu semua orang memandangnya aneh. Dia bertanya, apa yang salah dengan jawabannya itu? Ketika dua kawan sekelasnya bertengkar, sementara yang lain berteriak agar mereka berhenti bertengkar, Keiko mengambil sapu dan memukul keduanya lalu pertengkaran berhenti. Orang tuanya dipanggil lagi ke sekolah dan Keiko tak habis piker dimana salahnya dia.

Dia tak ingin orang tuanya disalahkan karena tindakannya. Orang tuanya sangat baik padanya, ayah dan ibu dan adiknya sangat menyayangi dia, tak ada yang salah dengan mereka seperti yang selalu dituduhkan guru setiap kali dia melakukan hal yang dianggap salah.

Di usianya yang 36 tahun, Keiko masih hidup sendiri dan selama 18 tahun atau sejak dia kuliah, dia bekerja sebagai pekerja paruh waktu di sebuah toko serba-ada. Keiko menikmati hidupnya sesuai manual yang tertulis di buku, dia menyimak dan mengikuti apa yang dilakukan oleh kolega di tokonya. Kadang dia menyerap gaya bicara kawannya, dan cara berpakaian supervisornya. “Begitu barangkali seharusnya yang dipakai perempuan usia 36thn,” begitu pikirnya.

Hidupnya baik-baik saja, sampai ketika bertemu kawan-kawannya di luar toko. Mereka mulai mempertanyakan kenapa Keiko belum pernah punya pacar, kapan menikah, kenapa tidak bekerja yang “normal” seperti kebanyakan perempuan. Keiko menghapal jawaban yang disiapkan adiknya jika pertanyaan-pertanyaan seperti muncul, sampai ketika jawaban itu tak mempan.

Shirata lelaki yang sama “tak normal” nya dalam format berbeda dengan Keiko. Dia tak juga merasa diterima oleh masyarakat dengan “keanehan” cara berpikirnya. Mereka bertemu, sepakat untuk tinggal bersama tanpa harus ada ikatan demi menjawab tuntutan masyarakat. Shirata lelaki yang tujuan hidupnya hanya ingin rebahan selamanya, semua kebutuhannya dipenuhi dari honor Keiko sebagai pekerja paruh waktu. Keiko menganggapnya sebagai hewan peliharaan yang dia perlu kasih makan agar tetap hidup.

Sampai situ saja ya, silakan baca sendiri kelanjutannya.

Buku ini menarik karena punya cara berbeda dalam penyampaian pesannya. Lagi-lagi saya senang karena tak ada label tertentu yang disematkan kepada Keiko dan Shirata membuat saya berpikir saya mungkin Keiko dan Shirata at the same time. So fucking tired of what society demand us to do to say, to stay fit in. Murata tak mencoba menggurui ina inu, dia hanya mengalirkan cerita yang membuat pembacanya tersenyum sambil berpikir.