Sebulan Belajar Ikhlas, dan Masih Belajar

Standar
<strong>Sebulan Belajar Ikhlas, dan Masih Belajar</strong>

Sebulan lalu, tanggal 8 September, saya merasa Saga tak bisa bertahan di rahim. Tandanya sudah banyak, tak ada perkembangan besar kantung, janin tak kelihatan, suara jantung tak terdengar, semua yang normal terjadi pada janin 9 minggu itu tak ada.

Saya dan akang denial saja, masih percaya kalau saya positif, energi itu akan menguatkan Saga. Ternyata Tuhan tak begitu, Dia menuliskannya berbeda. Hari itu, dokter bilang, Saga tak ada. Tak ada tali pusar, kalau tak ada, bagaimana janin bisa ada. Begitu singkatnya.

Tanpa harus tindakan operasi kuret, tubuh ibu sudah bergerak sendiri, itu hebatnya ciptaan Tuhan, kata dokter. Dia hanya memberikan obat untuk memperlancar keluarnya kantung dan membersihkan sisa-sisa Saga.

Hari ini sebulan lalu, perut saya sakit, sangat sakit. Perut melilit, hati seperti rasa diiris.

Cepat sekali bahagia itu berganti duka

Hari yang sama, saya harus presentasi di kelas. Air mata tertahan, isi kepala teralihkan. Di depan ruang tunggu obat di R.S Limijati Bandung, saya tetap tampil di ruang virtual, mengikuti kuliah. Sepanjang pulang dari rumah sakit, rasanya seperti melayang. Nyawa saya hilang. Seperti zombie, seperti robot, air mata pun tak keluar.

Selama lebih dari dua minggu setelahnya, saya menolak “hidup”. Saya hanya berbaring di kasur dan menumpahkan semuanya, sebagian besar marah, entah pada siapa, barangkali memang sama Tuhan, lalu pada diri sendiri.

Hanya pada dua sahabat, saya bercerita. Selebihnya terasa menyakitkan tiap kali menerima respon, “emang lu ngapain?” please do not say that stupid most hurtful words to a mother who just lost her baby.

Atau kalimat lain seperti, “ikhlaskan saja, untung masih beberapa minggu” atau “you still can have another one, keep on trying” or comparing your own stories to mine and how bravely you are surviving, karena itu membuat saya merasa kecil, lemah, tidak berdaya.

Itulah sebab saya tidak merespon satu-satu pertanyaan. Mengulang cerita adalah menyakitkan.

Sudah sebulan, how am I feeling?

Menuliskan ini dengan mata basah. Menenggelamkan diri pada kuliah, karena ternyata ini yang membuat saya merasa ada, merasa punya pijakan di dunia. Diajak bicara lain oleh sekumpulan orang “asing” dengan hidup saya tanpa bertanya-tanya, tanpa merasa dihakimi.

Selebihnya, mengutip alm. Reza, menjalani bonus hidup. Saya survive dari gelombang covid 19 dua tahun, lalu diberi bahagia 9 minggu terbaik dalam hidup bersama Saga, sisanya ya jalanin aja.

Pada suatu hari, saya merasa lega, ikhlas, merasa terbebas sejenak. Saat itu saya tahu satu porsi ikhlas dalam hati sudah terbentuk. Saga, ambu ikhlas. Saga, tunggu ambu di surga. Saga, semua cinta ambu akan tersampaikan lewat semua cinta dan laku untuk Attar, Azki, Septi dan Zi dan anak-anak lainnya. Ambu punya alasan untuk tetap kuat. Semua yang ambu lakukan, pikirkan, teriring doa untuk Saga.

Hari ini mengingat Saga tentu saja dengan mata basah. Tapi tak lagi diiringi marah, hanya sedih yang tak bisa sekejap hilang, mungkin lubang akan selamanya menganga. Belajar memaafkan diri sendiri.

Terima kasih kawan-kawan untuk selalu ada, saya memang masih belajar untuk ikhlas dan terus belajar.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s