
Buku ini dibuat dalam konteks demokrasi di Amerika dan Eropa, supaya kita memahami konteks politik dan contoh-contoh yang digunakan di dalamnya. Buku ini buat saya bagus, karena mengganggu kenyamanan saya, karena mempertanyakan beberapa hal yang akan saya bagi di sini.
Tapi pertama Lind mengajak kita untuk kembali ke demokrasi pasca perang dunia I, ketika itu demokrasi merangkul kelas pekerja. Serikat Pekerja mendapatkan tempat setara dengan perusahaan dan keputusan politik dilakukan bersama. Kemudian demokrasi bergeser dikuasai teknokrat dan ideologi neoliberalisme dimulai saat Jimmy Carter memimpin Amerika – ya ternyata bukan Ronald Reagan seperti yang selama ini saya tahu – lalu diamini oleh sekutunya di Inggris Raya sana, mulai Theacher, Blair, hingga Teresa May.
Seperti juga gaung “tak ada kelas” oleh neoliberalisme, kelas pekerja semakin dipecah belah, serikat pekerja dilemahkan. Demokrasi dipercayakan pada elit yang duduk di perusahaan yang mengatur ekonomi negara berkongsi dengan pemerintahan. Di masyarakat, makin dipecahbelah, dengan ras, gender, agama, negara, dan isu imigrasi. Demokrasi mengalami pembusukan dengan masuknya politisi populis yang memanfaatkan isu ini untuk menarik suara mayoritas.
Para politisi populis memangkan suara terbanyak dalam demokrasi tanpa kemampuan untuk mengelola negara yang kemudian mereka lemparkan kembali pada anggota keluarga dan kroninya. Sebagai contoh Trump dan Boris Johnson, keduanya memanfaatkan isu imigrasi yang akan menghancurkan masa depan warga aseli karena pekerjaan akan direbut.
Tetapi bicara aspek ekonomi, knowledge economy yang digadang-gadang neoliberalis tentu saja juga hanya menguntungkan lingkaran mereka lagi. Logikanya siapa yang dapat akses pada pendidikan adalah keluarga kaya, yang ketika lulus pekerjaan dengan gaji aman sudah menanti. Lingkaran kekayaan akan bertahan selama lima generasi. Sementara bagi kelas pekerja, imigran, yang tinggal di kawasan dengan akses pendidikan berkualitas rendah akan sangat sulit bagi mereka menanjak ke kelas yang lebih tinggi.
Di bagian ini tiba-tiba saya merefleksi kebijakan zonasi dalam pendidikan di Indonesia, apakah zonasi juga tidak mengukuhkan kesenjangan kualitas pendidikan yang sudah ada sejak lama? Apa kabar anak-anak yang tinggal di kawasan kumuh tapi pintar, tapi karena kualitas pendidikan di sekitarnya tidak bisa mendukungnya, maka kemiskinan akan terus melingkar dalam keluarganya.
Sementara itu, isu imigran sebenarnya menguntungkan keluarga-keluarga kaya dan para pengusaha yang membutuhkan pekerja murah, tanpa beban tunjangan sebagaimana seharusnya. Sektor pekerjaan informal menjadi kantung pendapatan bagi kelas pekerja dari imigran. Pada akhirnya perusahaan-perusahaan besar itu tetap akan mencari buruh murah dengan mengalihkan pabrik mereka ke negara lain. Para konglomerat yang dipelihara dan disayangi pemerintah itu pun melarikan pajaknya ke negara bebas pajak. Lalu apa yang didapat negara dan rakyatnya?
Lind juga menceritakan bagaimana LSM juga dikuasai kaum elit yang cara pandangnya bukan mencerminkan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya tapi melayani donor yang mendanai mereka. Pendonor mereka tak lain dan tak bukan adalah para elit itu sendiri.
Di sisi lain, ini juga yang mengganggu saya. Ketika antimonopolis berinisiatif memperbanyak starts up, dan bisnis kecil seperti IKM, yang terjadi kemudian adalah perlindungan terhadap pekerja yang semakin lemah. Tidak terkontrolnya standar gaji dan hak-hak pekerja lainnya. Antimonopolis juga membuat pekerja tidak nyaman dengan mengharapkan mereka juga membangun usaha sendiri. Apa yang salah dengan hanya menerima gaji seperti pekerja lainnya? Kenapa harus punya usaha sendiri?
Inisiatif-inisiatif aspirin yang hanya meredakan sakit sesaat tapi tidak menyembuhkan sumber penyakitnya. Bahwa yang sebenarnya harus diperbaiki adalah sistem demokrasi itu sendiri. Jika demokrasi dibiarkan seperti sekarang, Lind yakin, Amerika dan Inggris Raya khususnya akan bernasib sama seperti Brasil dan Meksiko.
Lind menawarkan kembali pada demokrasi pluralism yang merangkul semua perbedaan yang ada, ras, gender, agama, kaum imigran diberikan kartu hijau setelah dua tahun berada dan bekerja di Amerika. Ada pembagian kekuasaan, memastikan setiap orang dapat memberikan pendapatnya melalui komunitas dan perkumpulan mereka, pastikan mendengarkan mereka. Kembali menguatkan serikat pekerja sebagai mitra dalam ekonomi. Memastikan tidak ada orang, warga negara yang merasa ditinggalkan dalam keputusan politik yang menentukan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya mereka.