
Sejak kecil Natsuki percaya dia adalah alien yang nyasar di bumi. Dia selalu merasa tidak bisa fit in atau diterima oleh keluarganya. Ibunya selalu menyalahkannya untuk semua hal, ayahnya tak juga membelanya dan kakaknya pun demikian. Natsuki membangun dunianya sendiri, planet Popinpobapia adalah tempatnya berasal bersama dengan Piyut bonekanya dan suatu saat dia akan kembali. Natsuki tidak sendirian, Yuu yang juga tak pernah merasa disayangi sepenuhnya oleh ibunya merasa seperti manusia asing di bumi. Bersama mereka mengikat janji sejak kecil to survive no matter what di bumi sampai suatu saat kembali ke Popinpobapia.
Natsuki dipaksa ikut bimbingan belajar dengan seorang mahasiswa yang menjadi guru honorer di sekolah dasarnya. Satu hari guru yang jadi idola teman-teman sekelasnya itu memintanya tinggal setelah kelas selesai. Dengan alasan memperbaiki postur tubuhnya, laki-laki itu menggerayangi tubuh Natsuki termasuk meremas payudaranya. Natsuki kecil terpaku tak bisa berkutik, raganya seolah meninggalkan tubuhnya. Yang terjadi kedua kalinya Natsuki diminta datang untuk les tambahan di rumah guru ini. Dia tak bisa menolak karena guru ini menelpon orang tuanya dan meminta izin agar Natsuki belajar di rumahnya. Di sanalah Natsuki dipaksa melakukan oral dan sejak itulah mulut dan telinganya bukan lagi menjadi miliknya. Dia diancam untuk tidak bercerita kepada siapa pun, kalau pun bercerita, si guru bilang tak akan ada orang yang percaya.
Natsuki tak pernah lagi bisa merasakan rasa makanan di mulutnya, tak pernah bisa melakukan hubungan seksual bahkan ketika memiliki suami yang dia nikahi dengan persyaratan khusus. Natsuki dan Tomaya suaminya merasa sebagai bagian di luar masyarakat yang mereka sebut Factory, Pabrik dan rahim perempuan adalah mesin penghasil anak, keturunan dan pekerja yang membuat Pabrik terus berjalan. Keduanya memutuskan hidup bersama dalam status suami isteri tapi melakukan semuanya masing-masing seperti teman satu kosan.
Saya berhenti di sini sebelum spoiling lebih banyak.
Membaca novel singkat 247 ini, emosi saya naik turun. Momennya pas sekali dengan berita 12 santriwati diperkosa pemilik pesantren, gurunya yang sudah barang tentu menggadanggadang ayat suci, surga dan neraka ketika bicara berbusa-busa. Saya tak bisa membayangkan trauma yang dialami anak-anak perempuan korbannya yang akan menempel seumur hidup. Bahkan beberapa di antaranya hamil dari hasil perkosaan itu. Now tell me, how am I supposed to react?
Saya marah, kecewa luar biasa pada institusi pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan agama. Kita tak pernah terbuka bicara soal pendidikan seks, kita tak melindungi anakanak dengan benar. Ini kesalahan sistem. RUU PKS menggantung di DPR tak bisa menggantung si pelaku jahanam. Publik menempatkan korban sebagai pihak yang disalahkan, terlalu polos, terlalu naif, for God shake, they are just children! Bangsat.
Seharian ini emosi saya melonjaklonjak, bahkan meditasi tak sukses meredamnya. Saya membayangkan Natsuki Natsuki dalam dunia nyata, mereka merasa sebagai alien yang terasing dalam percakapan binatang bernama manusia. Bertahan bagaimana pun caranya, barangkali itu yang ada di kepala mereka saat ini. Kalau kepatuhan dan rasa takut mampu menyelamatkan nyawa mereka, anakanak itu pasrah. Orang tua bangsat macam guru pesantren itu yang tak pantas disebut manusia, bahkan binatang punya perasaan pada anak-anaknya.