Pandemi memang benar-benar mengubah hidup saya. Sejak pandemi resmi diakui Indonesia, saya beralih menonton drama korea selepas magrib untuk mencari hiburan. Rutinitas saya berubah, oh well, saya berusaha untuk tidak terjebak dalam rutinitas sebenarnya. Tapi drama korea akan ada di satu dua jam dalam sehari. Diusahakan ga menggila menghabiskan satu malam penuh dan binge semua episode. Saya juga termasuk sangat pemilih, tonton satu episode untuk tahu apakah plotnya saya suka, isi cerita menarik dan tentu saja pemainnya enak dipandang. Judulnya juga mencari hiburan, kalau ala kadarnya ya mending baca buku sik.
Dari banyak drakor yang saya tonton, ada tiga saja yang mau saya rekomendasikan untuk pembaca blog ini. Drakor ini plotnya menarik, twist banyak di setiap episode yang bikin penasaran untuk meneruskan tontonan dan yang pasti risetnya serius.

Flower of Evil – pertama kali lihat posternya di VIU saya sih ga tertarik. Coba judulnya aja jayus gitu. Tapi setelah temen bilang, tonton dulu deh episode pertama pasti lu suka. Akhirnya bener terjebak dalam cerita dan mengejar 16 episode dalam satu minggu saja.
Sebagai anak kriminologi, ceritanya jadi dekat dengan saya. Stigmatisasi terhadap anak seorang pembunuh terus menempel hingga dia dewasa dan itu mengubah keseluruhan hidupnya. Kalau punya bapak penjahat, kemungkinan besar anaknya juga akan jahat dan menjadi bagian komplotan bapaknya. Si anak juga terlahir dengan kebutuhan khusus secara pskilogis tidak mampu menunjukan emosinya. Tidak paham apa itu sedih, marah, bahagia, cinta. Itu menambah “kesialan” dalam hidupnya.
Kedua tokoh utama protagis dan antagonisnya sama-sama memiliki masalah kejiwaan. Risetnya menarik.

Stranger / Forest of Secret – langsung ke drakor yang saya tonton karena tokoh utamanya juga punya masalah psikologis, ketidakmampuan memahami emosi. Ini drakor politis banget, cocok buat saya yang menyukai politik. Cerita tentang sebuah pernikahan politis, anak perempuan seorang milioner yang menikah dengan jaksa muda yang cemerlang. Keduanya mengambil keuntungan, papa mertua pebisnis itu membeli hukum lewat anak mantu untuk melindungi bisnisnya. Si anak mantu memanfaatkan papa mertua untuk memuluskan karirnya di kejaksaan sampai menjadi sekretaris gedung biru – pemerintahan korea. Harta, tahta dan perempuan memang masuk dalam plot ini.
Lalu ada jaksa Hwang Si Mok yang ga bisa mengenali emosi itu kalau ngomong ga pakai tadang aling-aling. Di episode pertama saya sudah jatuh cinta padanya karena mirip Sherlock Holmes hanya ga tengil aja. Karena tidak tak punya emosi, tidak punya kepentingan dan sepanjang hidupnya berlaku jujur. Si Mok lah yang membongkar kasus pembunuhan seorang penyedia jasa perempuan untuk para petinggi kejaksaan untuk ditukar dengan perlindungan hukum. Kasus itu merembet pada korupsi di kejaksaan dan semua yang terlibat diungkap oleh Si Mok dan partner dari kepolisian detektif Han.

Money Game – nah ini… buat pembaca buku tentang kapitalisme, neoliberal, sosialisme, drama korea yang satu ini menjelaskan itu semua dalam 16 episode. Ya tentu saja tidak penuh, tapi lagi-lagi risetnya bagus. Mengusung buku the Great Transformation – Karl Polanyi, drama korea ini mencoba menjelaskan secara singkat bagaimana neoliberalisme sudah mengiris kedaulatan pemerintahan korea selatan. Saat krisis finansial 1997, pemerintah korea selatan yang nyaris bangkrut itu meminta pertolongan IMF untuk meminjamkan utang, yang syaratnya tentu saja privatisasi perbankan nasional. Ketika krisis kembali terjadi di 2020, seorang politisi ambisius ingin mengembalikan kedaulatan pemerintahan, bagaimana bisa mengendalikan pasar tanpa menjadi bangkrut. Apa yang salah menjadi sosialis katanya, ketika pasar tidak lagi mampu mengembalikan kesejahteraan rakyat?
Film ini tuh berasa dekat secara emosional buat saya. Cerita tentang bagaimana keluarga miskin semakin miskin karena uangnya dipertaruhkan di bursa saham yang lagi-lagi dikendalikan oleh orang-orang tertentu. Terjebak utang yang tak terbayarkan meski sudah bekerja lebih dari 12 jam sehari. Tentang seorang profesor dan praktisi ekonomi tingkat dunia yang keluar dari Wall-Street untuk menjadi petani kubis di sebuah desa. Dia merasa telah mengajarkan ilmu ekonomi yang salah kepada mahasiswanya, dia mengakui bahwa pasar bukan jawaban untuk mensejahterakan rakyat, membebaskan pasar sepenuhnya hanya akan menguntungkan sekelompok kecil konglomerat.
Tiga drama korea ini bikin saya semakin gemas karena sinetron Indonesia sumpah jelek banget!! Kacang, tanpa isi. Tak ada riset, tak ada plot menarik, tak ada pemain yang serius, teknik sinematografinya ala kadar. Jauh sungguh jauh.
Tiga drama korea ini juga bikin saya penasaran, seandainya seluruh isi buku di perpustakaan pribadi saya itu bisa dibagi seringan drama korea, barangkali pesan akan cepat sampai. Barangkali publik akan sama-sama mudah mencerna dan tak mudah dibohongi si anu dan si inu.
Seandainya bisa milih pemainnya, tentu saja tetap setia untuk memilih Cho Seung Woo, Lee Joon – Gi, dan Goo So, dan tidak melupakan Gong Yoo kesayangan, haik.