
Kesulitan pertama saya menulis review fiksi karya Jhumpa Lahiri ini adalah menemukan judul yang tepat. Fokus saya ada pada tokoh utama dalam cerita ini Gauri yang punya karakter tak biasa muncul dalam sebuah cerita. Lahiri sukses mengganggu ketenangan saya membaca fiksi ini, mencoba menempatkan diri di posisi Gauri yang dalam kehidupan nyata tentu sudah menjadi bulan-bulanan makian. Dia menikahi kakak dari suaminya yang mati ditembak polisi tanpa pengadilan demi menyelamatkan bayinya. Setelah lahir dia meninggalkan bayi pada suami sambungnya karena tidak merasa menjadi bagian dari keluarga barunya. Gauri gagal mencintai suami sambung dan anaknya. Dia mengembara sendiri bersama sosok Udayan suaminya yang telah mati, menenggelamkan dirinya dalam studi filosofi berpanjang-panjang. Gauri menghabiskan hidupnya di Amerika sejak dibawa iparnya ke sana, hari-hari di perpustakaan, meneruskan kuliah S2 lanjut S3 sampai akhirnya menjadi professor filosofi jerman di sebuah universitas di California, sendirian.
Gauri bertemu Udayan yang berteman akrab dengan kakaknya Manash sesama penganut Marxist dan mengkiblatkan gerakan partai komunis India pada ajaran Mao di Tiongkok. Gauri mengagumi Udayan karena pemikiran kiri dan semangatnya membela orang miskin dan petani yang tertindas di desa-desa di India. Gauri menjadi bagian dari gerakan mereka yang pada akhirnya membenarkan segala macam cara bahkan dengan membunuh seorang polisi yang sedang mengantar anaknya sekolah saat dia tak bertugas. Polisi dianggap sosok representasi kekuasaan yang menindas. Gauri yang memberikan informasi kapan polisi itu sedang lengah. Udayan merakit bom yang melukai tangannya sendiri.
Gauri menyaksikan sendiri bagaimana polisi mengepung rumah mereka dan kolam eceng gondok tempat persembunyian Udayan sampai akhirnya suaminya menyerahkan diri dengan tangan di kepala. Ayah mertuanya bersimpuh mohon pengampunan polisi atas anaknya, dan tidak digubris. Udayan digiring kepada truk dan tidak pernah kembali. Saat itu Gauri sedang hamil dan Udayan tidak mengetahuinya.
Dalam masa berduka, Gauri bertemu dengan Subhash, kakak Udayan yang sedang mengambil studi doktoral di Amerika. Subhash melamar Gauri untuk menyelamatkannya dari orang tua yang tidak pernah menerima kehadiran Gauri di rumah itu. Orang tuanya sudah berencana untuk mengambil bayinya karena Gauri dianggap tak akan mampu menjadi orang tua. Subhash diingatkan ibunya bahwa Gauri tidak akan pernah mencintainya karena hanya ada satu Udayan.
Sepanjang pernikahannya Gauri merasa tersiksa setiap kali Subhash bicara dan menampakkan diri di depannya, gambaran Udayan hidup kembali. Perasaannya tak bisa dibohongi bahwa dia tak mencintai Subhash. Kehadiran Bela penyambung ikatannya dengan Udayan tak juga mengobati lukanya. Gauri tak merasa menjadi bagian dari kehidupan Bela dan Subhash yang sangat dekat. Ada iri, ada sedih dan marah melihat Bela menganggap Subhash sebagai ayah kandungnya. Gauri menjauh dan semakin menjauh seiring bertambah usia Bela. Suatu hari, Subhash menemukan Bela sendirian di rumah sementara Gauri berbelanja. Hari itu juga, Subhash memutuskan hubungannya dengan Gauri meski tetap berada di satu rumah.
Kesempatan meneruskan S3 menjadi jalan keluar Gauri dari rumah dan kehidupan Subhash dan Bela. Gauri hanya memesankan pada Subhash untuk menceritakan tentang Udayan pada Bela suatu hari nanti. Sejak kepergiaannya itu mereka tak lagi berkontak, meski sesekali Gauri mencari tahu Bela lewat internet dan anaknya seperti tak pernah ada.
Kepergian Gauri mengubah Bela sepenuhnya, ditinggal ibunya tanpa pesan, membuatnya besar dengan menghindar dari orang lain. Bela merasa dirinya penyebab semua kekacauan di rumah dan kepergian Gauri. Selesai kuliah Bela hidup nomaden, berpindah dari satu lahan pertanian ke pertanian lain. 20 tahun sebelum akhirnya memutuskan pulang ke rumah ayahnya, Subhash dalam keadaan hamil. Dia tetap tak ingin berkeluarga merujuk pada kehidupan orang tuanya yang tanpa cinta dan kepergian Gauri.
20 tahun kemudian mereka bertemu. Bela sudah menganggapnya mati.
Gauri menerima semua yang Bela katakana, tak ada hal yang bisa membenarkan keputusannya 20 tahun lalu. Gauri kembali ke Kolkata, dia tak pernah melepas paspor India –nya, untuk menemukan Udayan kembali, tapi tak ada.
Ada banyak sekali yang diceritakan Lahiri tentang India dan politik di tahun-tahun 60-70an. Tentang kelompok ekstrimis Naxalite – Maoist dimana Udayan menjadi salah satu pendukungnya. Kelompok ini terus menentang pemerintahan sah India dan melakukan aksi radikal hingga terror berdarah yang masih berlanjut hingga hari ini. Di bagian akhir buku, kita diajak mengakrabi rasa Udayan yang tadinya sangat percaya bahwa perjuangannya adalah untuk kebenaran, keadilan untuk semua. Sampai akhirnya dia merasa bersalah bahwa yang dia percaya dan yakini telah menyakiti isterinya Gauri, perempuan yang dia cintai sekaligus manfaatkan untuk perjuangannya. Udayan terus berbohong pada orang tuanya agar mereka tak terlalu khawatir. Udayan berbohong lewat surat-surat yang dikirimkannya pada Subhash, berbohong kalau dia tak lagi menjadi pendukung fanatic Naxalite. Dia ingin menyambung rasa kembali dengan kakaknya yang terpisah karena perbedaan pandangan politik.
Buku ini cukup lama saya bacanya, bukan karena tidak menarik. Ini perkara saya ingin berlama-lama membaca dan meresapi cerita di dalamnya. Damn, love it!