
Right at this moment, I miss Kakak Zi so much!
Separuh hari ini sudah berlalu, paling tidak ada 2 iklan pusat perbelanjaan siap menerima pengunjung dengan menjalankan protokol kesehatan. Saya langsung ingat Kakak Zi, saya tahu dia pasti ingin sekali ke mal, bermain, makan enak dan nonton di bioskop yang dapat situasi normal, tentu saja saya dengan sangat senang hati menuruti kemauannya.
Tapi situasi ini tidak normal, kewajaran baru yang tidak wajar. Kalau masih bisa ditahan untuk tidak keluar rumah, sebaiknya tidak. Kalau tidak terpaksa, sebaiknya di rumah. Main-main di mal, bukan lagi pilihan. Kita tidak dalam situasi aman, apa pun yang dilakukan, belum ada yang bisa menyakinkan saya kalau semuanya sudah aman. Belum oi.
Selama 90 hari ini saya masih setia menuruti protokol kesehatan yang diharuskan. Menahan rindu bertalu-talu tak bertemu mami dan anak-anak di Jakarta. Sebuah privilese yang bisa saya lakukan, dibandingkan dengan kawan-kawan yang terpaksa harus tetap bekerja di luar rumah, berjubelan di transportasi umum karena pemerintah menarik aturan pembatasan kapasitas. Ini seperti kita dimasukkan dalam ruang bergas mematikan di zaman nazi dulu.
Seseorang bilang, jangan paksa orang memilih ekonomi atau sehat, keduanya bisa jalan bersamaan. Karena tidak bisa memilih, orang memang terpaksa harus menjaga kesehatannya sendiri-sendiri. Covid-19 memang pada akhirnya menunjukkan jurang yang lebih besar antara mereka yang memiliki privilese dengan yang tidak.
Mobil pribadi akhirnya keluar lagi lebih sering dan semakin banyak, begitu juga dengan motor dan sepeda. Apa saja yang tidak mempertemukan diri dengan banyak orang. Tapi mereka yang tak punya kendaraan pribadi, terpaksa ikutan berjubel kembali di terminal dan stasiun. Lalu ketemu lagi mereka yang naik kendaraan pribadi dengan yang naik kereta, di mal, di perkantoran yang sama… jiaaah ambyar. Penularan Covid-19 terbesar dilakukan oleh orang tanpa gejala, seperti aku dan kamu.
Selama 90 hari saya di rumah, menjaga diri, sementara membaca berita begitu longgarnya kehidupan di luar rumah. Rasanya percuma, betul. Menjaga kewarasan menjadi lebih berat daripada menjaga fisik untuk tetap sehat. Saya juga ingin berkeliaran di luar rumah lagi, cari uang dan bertemu para kawan sambil ngopi cantik, tapi kalau itu bisa menularkan covid ke orang lain atau saya membawa itu kepada orang rumah, buat apa. Saya tidak berusaha menjadi pahlawan, saya hanya tak ingin jadi bangsat yang punya pilihan di rumah dan bekerja di rumah lalu berkeliaran di luar rumah demi hiburan, demi menghilangkan bosan.
90 hari menjaga kewarasan, mengalahkan bosan, memang berat. Siapa menyangka orang dengan paku di pantat, saking tak pernah di rumah, tiba-tiba harus membagi rasa dan fisik dengan akang dan ibu mertua 24 jam x 90 hari! Berkompromi dengan diri sendiri saja berat, ditambah 2 orang lain di rumah. Memang berat, tapi saya selamat di hari ke 90 ini… horeee…hup hup horee! Ini prestasi, saya harus makan enak hari ini. Harus dirayakan neh.
Saya “menghilang” di ruangan yang berbeda sehingga tak melulu bertemu akang dan ibu. Saya menyibukkan kerja di depan laptop dengan music di telinga. Sibuk memasak di dapur minimal sekali 2 jam sehari, berkebun di teras, dan membaca buku. Apa saja yang bisa menjadi hiburan buat saya dan tak harus melulu berkomunikasi dengan orang rumah. Karena dalam kebosanan, kita cenderung melukai rasa orang lain. Bukan sekali kami bertengkar hanya perkara makanan, hal-hal remeh temeh yang sama sekali tidak signifikan untuk diperdebatkan.
Stress itu tidak bisa disangkal. Saya bisa saja tidak merasa stress ada di rumah, semacam penyangkalan, tapi hormon berkata beda. 25 hari menstruasi tak berhenti dengan volume yang banyak. Setelah sempat berhenti karena obat dokter, sekarang masuk lagi siklus menstruasi berikutnya. Bersamaan dengan itu juga, emosi kembali tak stabil.
Sesulit apa pun menjaga kewarasan dan kesehatan fisik, ya memang harus diusahakan bisa. Termasuk buat yang terpaksa harus keluar rumah. Kalau lihat orang ramai pergi karena harus bekerja, saya mendoakan dari jauh agar mereka tetap selamat dan membawa virus kembali ke rumah. Setiap kali saya melihat foto orang bertemu di kafe atau berkumpul dengan banyak kawan hanya untuk melepas penat, saya kepikiran membubarkan dengan disinfektan.
Semoga masih kuat bertahan menghadapi corona, selebihnya saya pasrah.
photo:googleimage