
Hannah Arendt (vita active) menyebut tiga hal yang harus ada untuk membentuk “aktivitas manusia” dan telah ada sepanjang sejarah. Pertama, “Labour” seperti juga makna harfiahnya, melahirkan, laboring diartikan kebutuhan dasar manusia sebagai mahkluk biologis. Makan, minum, tidur, berhubungan seks, bereproduksi. Kegiatan yang secara naluriah dilakukan untuk bertahan hidup. Kedua, “work” sebuah aktivitas penciptaan yang menghasilkan produk akhir, contohnya pohon yang ditebang untuk mendapatkan kayu, atau tanah yang dikeruk untuk pertambangan dan menghasilkan mineral, atau sebuah penciptaan karya seni. Itu adalah “work”. Lalu “Action” aktivitas interaksi manusia dengan manusia lain, menjalin hubungan antar manusia yang kemudian mewujudkan perspektif bersama, kesepakatan bersama. Dalam hubungan tersebut, jika tidak ada kesetaraan antar manusia di dalamnya, maka tidak akan terjalin kesepahaman bersama. Dengan kata lain, Action adalah wujud hubungan sosial yang membentuk sebuah tatanan bersama, dalam konteks sosial politik dan ekonomi.
Setelah dua bulan ada di dalam rumah, pandemic mengubah saya sebagai manusia, dan juga kamu. Kita dipaksa untuk kembali ke proses awal kemanusiaan, laboring. Kembali pada wujud makhluk biologis yang bertugas untuk memertahankan hidup selama pandemic ini. Saya mulai masak, berkebun jika sewaktu-waktu tak mungkin lagi pergi ke pasar atau didatangi tukang sayur. Kita bertahan di rumah agar virus tak datang. Kalaupun kita “work” tidak lagi untuk penciptaan jangka panjang. Siapa yang mau membeli pakaian di masa seperti ini? Atau lukisan, atau aksesoris. Kita hanya akan memikirkan yang esensial buat diri dan keluarga, makan.
Sementara itu, Action, bernama kehidupan bernegara mulai kacau. Ajakan untuk “berdamai dengan covid 19” dan melonggarkan PSBB dengan mengizinkan transportasi beroperasi dan mereka yang usia 45 tahun kembali bekerja, itu seperti menyiapkan tentara berani mati agar ekonomi negeri tetap berjalan. Jangan kita deh, saya, abai pada kenyataan pahit kalau RUU Minerba disahkan oleh DPR menjadi Undang Undang, bahkan tanpa perdebatan di sidang paripurna kemarin. Baca di sini https://money.kompas.com/read/2020/05/12/174738026/ruu-minerba-resmi-disahkan-jadi-undang-undang yang menguntungkan penguasa dan pengusaha tambang dan menghancurkan masa depan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Yang menentang pertambangan ini bahkan diancam pidana dan denda hingga 100 juta. Pendemik membuat kita lupa, bahwa masih ada masa depan yang harus disiapkan. Kalau kita masih bernyawa hari ini, besok apakabar? Apakabar rumah yang kita siapkan untuk anak-anak nanti?
DPR memanfaatkan kesibukan saya dan kamu yang sedang menyelamatkan diri sendiri. Jahat, saya tak punya kata lain selain itu. Sementara pelonggaran PSBB yang sama dengan Herd Immunity yang dipaksakan, akan lebih banyak mudharatnya daripada faedahnya. Orang tetap harus makan, Nit. Iya memang, kita laboring, makan, minum, mati – yang terakhir is not optional karena pasti. Tapi itu tidak berarti kita menyerah begitu saja. Bukan kita perorangan yang bertanggungjawab dalam sebuah kehidupan bernegara.
Selalu ada yang membela, bahwa negara tak punya dana, tolong katakan itu pada budget milyaran yang keluar untuk kartu pekerja, sementara rakyat kelaparan, ratusan orang didepak keluar dari kontrakan karena ga sanggup bayar. Betapa saya patah hati berdiam diri di rumah. Semakin patah hati ketika ratusan anak Jakarta 90an yang punya privilese untuk tetap diam di rumah, berkumpul di Mc. Donald Sarinah hanya untuk nostalgia. Kamu sama sekali tak berempati pada saya, pada kita semua yang berdiam di rumah demi covid segera usai, agar bisa kembali “work” dan “action” menjadi manusia kembali.
Biarkan berdamai dengan covid itu dalam ranah personal, tapi jangan di ruang publik, tidak dalam bentuk kebijakan public yang mempertaruhkan keselamatan dan kesehatan jiwa warganya. Di hari ke 60 saya merasa percuma menghabiskan dua bulan di rumah sementara kita tak sama menghadapi covid ini. Saya berusaha sangat keras untuk menjaga kewarasan dan berdamai dengan situasi. Yang berbeda di 20 hari terakhir adalah meditasi, sembari menemui Allah dalam puasa yang sepi. Saya menjadi lebih spiritual dari biasa, tapi itu bukan berarti saya berhenti cerewet. Hidup ini bukan cuma perkara saya, saya, saya, dan keluarga. Saya tidak percaya orang yang larut dalam meditasi lalu melupakan situasi di sekeliling, justru sebaliknya. Karena menyatu dengan alam dan semesta, harusnya kita justru lebih peduli pada apa yang terjadi dengan kawan buruh lepas yang putus asa karena uangnya tinggal 450ribu entah sampai kapan.
Hari-hari patah hati, semakin sedih karena saat pemerintah melonggarkan PSBB dan kamu merayakan kembali kehidupan ekonomi, ada perawat dan dokter yang semakin berat tugasnya menjaga kesehatan diri, kamu dan kewarasannya sendiri. Mereka punya keluarga seperti saya dan kamu, mereka juga ingin pulang dan kalau pun harus mati, matilah dalam peluk kekasih hati diiringi tangis keluarga dan kerabat. Berhentilah egois, melek lah, bergerak, hidup bukan soal diri sendiri. Tidak pernah seperti itu.