
Ada buku yang bisa membuat saya marah, kecewa, sedih, tertawa, secara parsial. Tapi buku ini bisa membuat emosi bercampur aduk dalam setiap babnya. Di bagian akhir, saya menangis tersedu-sedu seperti layaknya kehilangan orang dekat, dada sesak. Saya bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Liesel si tokoh utama ketika dia melihat mayat Rudi. Liesel mencium bibir Rudi yang hambar bercampur debu sisa bangunan yang hancur oleh bom.
Sejujurnya ketika saya menerima buku ini sebagai hadiah dari kawan sewaktu bertemu di London, dan dia bilang ini setingnya masa Nazi dimulai di Jerman, saya sungkan membacanya. Cerita perang itu selalu menakutkan, potongan-potongan gambar di kepala saya tidak menyenangkan. Empat tahun setelah hari itu, saya membaca buku ini. Hanya seminggu, 553 halaman itu selesai dibaca dengan penuh tawa, marah, dan tangis tersedu-sedu.
Buku ini bercerita tentang Liesel si pencuri buku dan dinarasikan oleh “Kematian” yang menjumpai Liesel sebanyak tiga kali sepanjang kehidupan anak ini. Liesel berusia 11 tahun ketika adiknya meninggal di gerbong kereta, lalu ibunya dan dia berakhir di rumah orang tua asuh, Hans dan Rosa Huberman. Saat pemakaman adiknya itu dia pertama kali mendapatkan buku, petunjuk untuk melakukan pemakaman. Liesel tidak bisa membaca, tapi dia senang sekali buku. Ayah angkatnya Hans, perokok berat dan pemain arcodion yang mengajarinya membaca dengan sabar. Liesel si pencuri buku, menyembunyikan buku di tempat tidurnya dan setiap jam 3 pagi, ayah angkatnya akan menemaninya membaca. Membaca buku membuatnya bahagia, bahkan saat memeluknya erat.
Bagian paling membuat saya terkesan ketika Liesel masuk ke dalam perpustakaan milik Mayor Hermann (if I am not mistaken), itu seperti membawa saya terkesima di antara rak-rak buku. Jutaan kata berhamburan, bermain dan bersembunyi di balik buku. Persis seperti Liesel, saya drooling aka ngeces. Ketika harus memilih antara biscuit dan buku, Liesel memilih buku dan membiarkan perutnya lapar. Saat menuliskan ceritanya di jurnal di ruang bawah tanah, bom menghujani Himmel Strasse dan merenggut semua yang dikasihinya. Hans dan Rosa Hubermann, keluarga Steiner termasuk sahabatnya Rudi, dan para tentangnya. Liesel selamat, dan hidup lama untuk melihat cucunya. Kematian menjumpainya di Sydney dan membawakan jurnal yang ditulisnya, The Book Thief.
Buku ini menceritakan 4 tahun perjalanan Liesel, si pencuri buku di Himmel Strase di masa-masa Hitler membangun kekuatan Nazi dan menyebarkan propaganda lewat Mein Kampf. Tentang Hans yang menyembunyikan Max, seorang Yahudi di basement mereka. Persahabatan Liesel dengan Max lewat buku sketsa yang dibuat Max dari lembaran Mein Kampf yang dicat putih menjadi lembaran baru. Tentang persahabatan abadi Rudi si rambut oranye dan Liesel. Perang dan kebencian yang tidak bisa dipahami oleh orang-orang Jerman. Terlebih, ini tentang Malaikat Pencabut Nyawa yang kewalahan untuk mengerti tentang manusia yang mendekati kematian lewat perang. Malaikat Pencabut Nyawa tak punya waktu istirahat, bahkan dia sendiri merasa dihantui oleh manusia.
Memilih Malaikat Pencabut Nyawa sebagai narrator saja sudah sangat menarik buat saya. Dia melihat semua yang terjadi di berbagai tempat para karakter berada, melintasi waktu. Bagaimana rasanya jadi pencabut nyawa yang bisa merasakan sedih ketika harus mengambil nyawa manusia. Orang baik, ringan rohnya saat dibawa malaikat, begitu kirakira yang disampaikan Kematian ketika membawa Hans, Rosa dan Rudi bersamanya.
Haish, saya mulai berkaca-kaca lagi.
Buku ini ditulis 2005. Iyes 15 tahun kemudian saya baru membacanya dan menjadi salah satu buku favorit. You need to find it yourself, the thrill and adventure of this book. I highly recommend it and it’s a must to read.