Saya, Ibu Tanpa Anak

Standar

“A person’s a person, no matter how small.”

— Dr. Seuss

Adik saya sejak awal 20an selalu berencana menikah muda. Kata dia biar supaya mami, biar pas menjelang tua, anak-anak sudah besar. Bukan adik saya saja yang berniat punya anak-anak yang nantinya akan merawat mereka di hari tua.

Buat saya, itu terdengar egois. Kenapa menjadikan anak-anak sebagai perawatmu, sedangkan mereka tak pernah meminta untuk dilahirkan olehmu. Kenapa harus menghitungnya sebagai bentuk balas jasa, sedangkan merawat anak-anak adalah murni tanggungjawabmu sebagai orang tua. Apakah kamu sudah merawat anak-anakmu sebaik itu? Apakah sudah memerlakukan mereka sebagai individu yang juga punya kehidupannya sendiri?

Ketika Rajan dari buku The Third Pillar bilang kalau generasi tua akan menjadi beban bagi generasi sebelumnya, saya tersinggung. Saya tidak punya anak yang nanti “dipaksa” atau merasa “terpaksa” merawat saya, tapi saya tahu bagaimana harus menyiapkan masa tua tanpa menjadi beban bagi orang lain. Bukan Kakak Zi atau Septi, tapi saya dan akang akan menua dan mandiri.

Sejak pacaran sudah kami diskusikan, apa yang akan terjadi jika saya tidak punya anak, atau tidak ingin punya anak? Akang bilang, kita bisa adopsi jika kamu mau. Itu salah satu alasan kenapa saya memilihnya, karena kami menikah bukan untuk melanjutkan keturunan, tapi untuk bersama. Kalau Semesta memberi, itu akan jadi lain cerita, ya sudah, maka jadilah orang tua.

Adalah Dr. Tita dari Hermina Pasteur yang bilang, “anak bisa menjadi berkah, bisa juga membawa dosa.” Dan ketika dia bilang sebaiknya saya melupakan punya anak, iya, kaget diawal, tapi setelah dua tahun ini, saya justru lega. Barangkali memang sebaiknya tidak. Jika menikah dan punya anak adalah tujuan hidup saya, mungkin sudah beranak pinak lebih dari tiga hari ini. Tapi hidup saya bukan untuk itu. Saya punya keistimewaan untuk memutuskan mau diapakan tubuh ini. Saya memilih untuk sendiri selama 39 tahun, dan berkarir. Di luar sana, sahabat perempuan saya tak punya banyak pilihan atau terbawa pada tuntutan sekitarnya.

Setiap berita kelahiran adalah duka buat saya. Membayangkan apa yang akan terjadi pada bumi ini lima tahun dari sekarang, dada saya sesak. Kita tak punya cukup air bersih untuk semua, tak cukup lahan untuk ditinggali. Hari-hari tentang banjir, tentang anak-anak yang mati di kobangan bekas tambang, tentang paru-paru hitam karena polusi, tentang penyakit yang menyebar lintas batas. Secara ekologis, saya bahagia tak punya anak. Tak ingin membebani lagi bumi dengan menambah satu anak untuk hidup. Masa depan mereka telah kita rusak hari ini.

Lalu anak-anak perempuan yang disekolahkan tinggi hanya untuk diblur wajahnya. Itu membuat saya marah luar biasa. Perjuangan berdekade agar anak perempuan maju, hancur hanya untuk berada sekali lagi di belakang laki-laki, diburamkan dari ruang publik. Bahkan Kartini menangis dalam kubur.

Silakan sebut saya sok idealis. Saya ingin perempuan punya kemampuan memilih untuk dirinya sendiri, bahagia menjadi dirinya sendiri bukan dalam status sebagai anak, isteri atau ibu. Saya ingin anak-anak perempuan punya masa depan yang lebih baik dari kita hari ini, bisa lari kencang ketika bencana terjadi, berenang di lautan bebas, mendaki gunung ketika tsunami mengejar, berteriak kencang menyuarakan hatinya. Dan anak-anak itu tak perlu lahir dari rahim saya.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s