Distribusi Kekuasaan Untuk Masyarakat. Review The Third Pillar – Raghuram Rajan

Standar
Distribusi Kekuasaan Untuk Masyarakat. Review The Third Pillar – Raghuram Rajan

Membaca buku ini, beberapa kebijakan pemerintah melompat-lompat di kepala. Ada BPJS, Dana Desa dan Perhutanan Sosial. Dana Desa dan Perhutanan Sosial bisa jadi sudah masuk dalam kategori yang Rajan sebut sebagai lokalisasi kekuasaan dari Pemerintah Pusat kepada masyarakat. Tapi apakah distribusi diberikan dengan sungguh-sungguh lengkap dengan proses pemberdayaan atau hanya untuk pencitraan, seperti boneka tali yang control penuh sebenarnya tetap ada di Pemerintah Pusat? Berapa besar porsi kekuasaan yang dibagi Pemerintah kepdaa masyarakat vs korporasi?

Tentang BPJS, yang sebenarnya adalah bentuk dari safety net, jarring pengaman sosial, apakah semua mendapatkannya? Dalam buku ini Rajan mengatakan, kesehatan adalah hak yang harus diterima setiap individu, dibayarkan oleh pajak negara. Dalam demokrasi, tidak boleh ada satu individu yang tertinggal, semua orang harus diperhatikan, dan orang sakit tidak bisa ikut aktif dalam berdemokrasi maka demokrasi akan tercoreng.

Saya sudahi dulu pertanyaan-pertanyaan ini, kembali pada buku yang ditulis Raghuram Rajan. Seorang berdarah India yang besar dan hidup di Amerika Serikat, bekas pejabat di IMF dan professor di Universitas Chicago. Buku ini mengambil konteks negara Amerika Serikat dengan beberapa contoh dari India dan Cina.

Tiga hal yang tidak dapat dihindari oleh sebuah negara adalah perubahaan iklim, imigrasi dan generasi yang menua. Ketiganya akan sangat memengaruhi interaksi tiga pilar sebuah demokrasi, yaitu pemerintahan, masyarakat dan pasar. Ketiga pilar harus seimbang agar kedaulatan sebuah negara demokrasi tetap berdiri. Ini bukan hanya tentang kemakmuran negara yang tidak bisa terwujud JIKA masyarakatnya tidak sejahtera. GDP sebuah negara tidak serta merta menggambarkan keadilan sosial bagi masyarakatnya. Yang terjadi saat ini justru dalam sebuah negara demokrasi besar seperti Amerika, ketidakadilan semakin terasa, polarisasi politik imigran vs pribumi dan kesejahteraan hanya berpusat pada kroni penguasa dan oligarki. Dalam situasi dimana masyarakat terabaikan oleh pemerintah dan pasar, dan sikap apatis semakin kuat, maka demokrasi hanya menunggu waktu untuk mati.

Sebagai pembaca buku-buku kiri, buku ini membuat saya mendapatkan pengetahuan lebih. Rajan menolak apa yang disebut Marx sebagai distribusi kekuasaan untuk semua. Ketika kekuasaan dibagikan begitu saja, di ujung paling akhir adalah kekuasaan untuk dan oleh satu partai, maka muncul kemudian komunis ala Rusia, pemerintahan oriter, diktaktor dan fasisme. Pembagian kekuasaan tidak sama dengan pembagian kesejahteraan, tidak serta merta membuat rakyat sejahtera karena kendali pasar tetap hanya untuk kepentingan segelintir orang.

Pasar tidak melulu buruk seperti bayangan Marx, kata Rajan. Pasar adalah tentang kompetisi, maka yang harus dilakukan adalah memastikan kompetisi itu bukan milik atau monopoli pengusaha besar tapi masyarakat bisa ikut di dalamnya. Dalam distribusi kekuasaan yang kemudian disebut Rajan sebagai lokalisasi kekuasaan adalah tentang memberikan kekuasaan bagi masyarakat untuk bisa mandiri dan berkembang. Bukan sekedar bagi-bagi kekuasaan dalam bentuk desentralisasi, tapi bagaimana masyarakat mendapatkan tiga hal, yaitu kekuasaan untuk mengembangkan aset ekonomi yang ada di sekitarnya, membangun pasar (lokal, lalu ikut serta di pasar nasional) dan menguatkan jejaring pengaman sosial menurut budaya dan nilai-nilai yang mereka sepakati bersama. Lokalisasi kekuasaan akan mengurangi jurang ketidakadilan yang terjadi saat ini. Peran pemerintah dalam hal ini memastikan kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan terpenuhi di tingkat lokal. Pemerintah pusat harus dapat memastikan produk lokal masyarakat itu berkembang dan bersaing di pasar nasional bahkan internasional.

Pengembangan masyarakat akan mudah dalam kehidupan masyarakat homogen, tetapi imigrasi adalah sesuatu yang tidak dapat dibendung, begitu juga dengan generasi tua yang terus bertambah sementara jumlah pertambahan penduduk terus turun di sejumlah negara maju seperti Jepang. Ketakutan akan tergerusnya nilai-nilai budaya lokal menjadi tinggi dan ini yang dimanfaatkan para nasionalis. Tetapi kehidupan perekonomian juga harus terus berjalan, generasi tua akan habis, maka perlu tenaga-tenaga kerja baru untuk menggerakan ekonomi dan politik sebuah negara. Imigrasi menjadi jawabannya. Mendatangkan tenaga ahli dari luar lingkar komunitas bisa jadi pilihan agar ekonomi terus jalan. Yang harus dilakukan kemudian adalah memastikan nilai-nilai dasar seperti empati, toleransi itu tetap dijaga agar para pendatang merasa diterima dan menerima tempat baru sebagai rumahnya. Rasa memiliki dibangun agar keduanya pribumi dan pendatang berjuang bersama untuk lingkungannya.

Tentu saja kepala saya bertanya, kenyataan mewujudkan itu tak semudah tulisan di atas kertas, Bambang, eh Rajan. Tapi menarik tentu saja. Pada akhirnya batas-batas wilayah negara yang politis agar tergeser oleh kepentingan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Wilayah-wilayah yang hancur karena perubahan iklim, seperti pulau yang hilang karena tingginya permukaan air laut, krisis air dan perang akan memaksa manusia di dalamnya berpindah ke tempat lain. Kebutuhan akan tenaga kerja baru, tenaga ahli baru tetap dibutuhkan oleh negara-negara yang generasi tuanya semakin banyak dibanding anak-anak atau generasi produktifnya.

5 bab Rajan menyebutkan tentang cara menyeimbangkan kembali ketiga pilar ini. Tapi saya tergelitik dan apatis pada saran Rajan terhadap sektor privat atau bisnis. Dia bilang, korporasi harus mengubah gaya mereka, dari pengejar profit atau keuntungan menjadi penjaga nilai-nilai. Saya tahu tentang tiga hal yang sedang digadang-gadang bisnis yaitu bumi, manusia dan profit, tapi seberapa banyak korporasi memegang nilai-nilai ini dalam operasionalnya? Saya mungkin jadi bagian yang sudah apatis tentang ini. Dalam situasi Indonesia hari ini, apakah meminta bisnis beralih pada nilai-nilai itu tidak terlambat? Hutan sudah berganti lubang-lubang tambang yang dibiarkan penuh air dan anak-anak mati kecemplung di dalamnya. Hutan berganti sawit dengan sederet cerita konflik agraria. Yang paling buruk dari semua itu, pengusahanya ada di lingkar kekuasaan. Lalu bagaimana saya bisa berharap baik kalau pemerintah pusat bakal mengatur pasar yang dikuasai mereka sendiri dan para kroninya?

Kembali ke paragraph awal, saya masih punya harapan dengan pembagian “kekuasaan” lewat Dana Desa, dan Perhutanan Sosial. Kedua hal ini harus dijalankan dengan baik, bahwa pemerintah membantu pengembangan perekonomian masyarakatnya, sekaligus membukakan pasar. Saya masih berharap pembagian itu bukan basa basi agar kita tak apatis pada demokrasi di negeri ini.

Apakah saya merekomendasikan buku ini? OF COURSE! Sebagai orang yang bergerak di area pengembangan masyarakat, tentu saja saya sepakat dengan Rajan bahwa masyarakat harus berdaya, harus mandiri agar kesejahteraan di tingkat lokal bisa terwujud. Perjuangannya tentu tidak akan semudah yang disebut Rajan, karena konteks wilayah juga berbeda.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s