Hampir dua pekan ini, ruang public diramaikan oleh aksi mahasiswa dan pelajar yang membuat orang tua berang, meradang. Mereka seolah terusik oleh sikap mereka, memaki pagar yang dirusak, kepala polisi yang bocor, seolah meniadakan fakta, bahwa ada anak-anak berseragam putih biru dan mahasiswa berjaket kampus berhadapan dengan pasukan dengan atribut lengkap yang terlatih menghadapi “penjahat” bukan pelajar. Mereka terlatih untuk melindungi kepala dari lemparan batu, bahkan sudah siaga dengan rompi anti peluru dan helm. Dalam logika sederhana, yang dihadapi ini manusia, anak-anak bukan perusuh. Dari penampakan itu saja, stigma negative sudah disempatkan oleh negara dalam bentuk kepolisian pada mahasiswa dan pelajar. Coba lihat yang di Yogya, apakah polisi beratribut sama? Kenapa di sana polisi bisa akrab dan bukan sebaliknya? Apa karena ini Jakarta?
Akan sangat mudah untuk mencari kambing hitam, menunjuk mana yang salah. Dalam politik, kita pasti bias karena punya keberpihakan dan saya tak ingin terjebak pada diskusi panjang itu. Buat saya, kekerasan siapa pun yang melakukan tidak dibenarkan tapi menempatkan anak-anak dan mahasiswa seperti penjahat dan perusuh, itu berlebihan. Kembali pada Undang-Undang yang berlaku untuk melindungi anak-anak di bawah 18 tahun.
Saya dibesarkan oleh seorang polisi yang memulai karirnya sebagai prajurit dan pensiun berpangkat mayor dan bertugas terakhir di Mabes Besar Kepolisian RI. Papi saya keras, sangat keras, darinya saya belajar tentang ketegasan, keteguhan, dan kedisiplinan. Kami berdua kepala batu. Tapi tak pernah sekali pun tangannya memukul saya. Kami bisa sahut-sahutan saling tinggi nada berargumentasi, saya tidak pernah puas membantah beliau, tapi lagi-lagi tak pernah sekali pun tangannya melayang untuk menghentikan saya bicara. Dia akan mendengarkan saya berargumen, lalu dia menyahut, dan saya kembali menyahut. Yang kemudian menengahi adalah mami. “Sudah cukup! Berisik!” lalu saya yang biasanya melipir. Satu-satunya rem dalam hidup saya, rasanya mami, sampai hari ini.
Dalam keluarga, kami anak-anak diajari berpolitik. Papi tidak akan memulai makan malam kalau salah satu anaknya belum tiba. Dia akan menunggu, di depan televisi. Kami tak punya ruang makan, rumah petakan tiga ruang itu justru membuat kami benar-benar dekat. Bayangkan lagi sebel sama papi, tidak ada ruang buat sembunyi. Pelajarannya, masalah bukan alasan untuk lari, tapi hadapi, suka tidak suka. Papi akan memulai dengan pertanyaan, “bagaimana sekolah?” lalu entah siapa yang memulai, saya atau papi, argumentasi terjadi, mulai dari urusan pelajaran di sekolah, acara di tv sampai rebutan bantal.
Jika ada persoalan keluarga, papi bawa itu dalam diskusi makan malam, di depan tv. Semua akan ditanya pendapatnya, saya, lina dan si bungsu, juga mami. Semua kebagian memberikan masukan. Setelah debat, dan papi “kalah” dia akan berkata, “begini, bagaimana pun papi ini kepala keluarga, jadi papi yang memutuskan.” Lalu saya akan ngedumel, “kalau begitu, ga usah lah minta pendapat nita.” Papi melotot, mami mencubit.
Ketika masuk SMA, kontrak politik pertama saya dengan papi ditandatangan. Bahwa saya, nita, selama belum bisa mencari uang sendiri, selama tinggal satu atap dengan keluarga maka tidak ada pacaran, tidak ada satu pun yang menghentikan cita-cita untuk kuliah. Jika ketahuan pacaran, sekolah berhenti, kawin saja. Begitu isi kontrak yang saya harus sepakati dengan papi. Dan saya penuhi janji itu. Sekali pun pada tahun kedua, papi pensiun, dan saya harus membiayai kuliah saya sendiri.
Di masa persiapan pensiunnya itulah peristiwa 1998 terjadi. Papi tahu, anaknya yang ini sudah pasti gatel untuk ikut turun ke jalan. Ada sebal mendadak melihat tingkah polisi dan saya sedikit menjauh dari papi. Saya diam tak banyak bicara di rumah ketika papi ada, tapi menyala-nyala cerita pada mami, dan dia tahu itu. Suatu pagi dia bilang, “papi izinkan kamu ikut demo tapi kita jangan sampai bertemu di jalan.” He knows, he just following order. Kalau situasi tak terkendali, bisa jadi dia harus menangkapi saya. Ketika itu, dia bukan papi saya, dia alat negara.
Apa yang papi dan mami berikan sejak kecil, sangat politis dan itu menular pada cara saya dan Lina memerlakukan kakak Zi dan Septi. Mereka adalah manusia berusia muda, mereka anak-anak yang kami perlakukan sebagaimana manusia dewasa. Setiap keputusan didiskusikan bersama, Kakak Zi dan Septi punya hak mengeluarkan pendapat, setuju atau tidak. “Kasih alasan yang cukup baik untukku membelikan kamu squishy ini?” “Kenapa aku harus membelikanmu dinosaurus yang baru?” “Mana yang kalian pilih, liburan ke Ragunan atau kita jalan-jalan naik MRT? Terus alasannya?”
Ketika mereka lihat mahasiswa dan pelajar turun ke jalan, setiap malam Zi menanti saya pulang untuk memberikan cerita apa yang terjadi hari itu. “Aku tahu ada yang meninggal?” “Kenapa kakak SMA ikutan demo?” “Kenapa mereka dipukuli dan diberi tembakan apa itu, gas air mata?”
Jawaban yang saya berikan jujur bahwa ada Rancangan Undang-Undang yang akan mengatur kehidupan kita yang sedang dipermasalahkan. Tentang saya tidak bisa pulang malam, dan tentang ayam masuk ke pekarangan rumah. Tentang kakak mahasiswa yang memperjuangkan agar hutan tak lagi dibakar, agar kakak Zi dan Septi punya udara yang lebih bersih dari hari ini, tentang Rancangan Undang-Undang yang kita perjuangkan untuk melindungi Kakak dan Septi dari kekerasan. Memperjuangkan masa depan Kakak dan Septi menjadi lebih baik. Kalau ada kakak mahasiswa dan pelajar yang dipukul, kita harus sepakat kak, bahwa kekerasan itu tidak baik, tidak boleh terjadi.
Keduanya besar di era keterbukaan informasi, kalau tidak saya jawab, mereka akan menemukan jawabannya sendiri dengan jempolnya. Informasi yang salah sangat mudah didapat, saat inilah saya dan Lina ibuknya punya tanggungjawab lebih besar untuk mendampingi keduanya mengunyah pelan-pelan setiap informasi yang mereka dapat.
Yet, perjuangan yang kata orang diprovokasi, saya hanya menghela napas. Hari ini, saya rindu papi. Saya tidak tahu Pak Kumis itu akan berkata apa kalau melihat kawankawannya menendang keras dengan sepatu lars yang dulu setiap pagi saya semirin, memukul dengan tongkat yang keras itu pap, yang kita simpan jaga-jaga kalau maling masuk rumah. Al Fatihah
Dan untuk Kakak Zi dan Septi, maafkan nak, perjuangan belum lagi usai. Kalian adalah pemilik masa depan yang diniatkan rusak oleh mereka yang punya kuasa.