
Pada sebuah pertemuan Women of the World Festival di London, 2015, Mayer berbicara tentang bagaimana perjuangan perempuan selama ini hanya bersuara di ruang-ruang pertemuan, dalam diskusi tertutup dengan mereka yang sebenarnya sudah sepaham. Harusnya feminis bisa keluar dari chambernya, menyentuh hal-hal nyata yang ada di public. Bagaimana caranya? Bikin partai politik!
Mayer ditantang untuk membuat partai politik, Women’s Equality Party, partai kesetaraan perempuan. Kenapa berpartai? Agar bisa berpartisipasi dalam demokrasi dengan jalur formal, merebut kursi dan membuat kebijakan yang berpihak pada kesetaraan dan keadilan gender. Kekuatannya mejadi lebih solid untuk melakukan perubahan, begitu niatnya. Partai ini digawangi Mayer dan Sandi Toksvig dan seluruh manifesto kebijakan resmi diperkenalkan pada public pada 20 Oktober 2015.
Buku “Attach of the 50ft.Women” adalah perjalanan Mayer untuk memulai karir politik yang sesungguhnya. Latar belakang Mayer adalah jurnalis. Dalam buku ini dia memulainya dengan cerita tentang perempuan yang digambarkan sebagai Scarlet Johansson yang menjadi raksasa dan menguasai dunia. Perempuan harus ada di atas untuk dapat didengar, begitulah kira-kira, caranya ya itu tadi lewat politik.
Jatah kursi 30% dalam parlemen memang sudah ada dan seringkali dikritik karena perempuan yang terpilih tidak menyuarakan keberpihakan pada kesetaraan dan keadilan gender. Tentu tidak semua perempuan punya perspektif gender yang baik, yang melanggengkan patriarki karena hidup dan bertumbuh dalam lingkungan tersebut, juga lebih banyak. Tapi dengan memberikan ruang 30%, itu artinya memberikan kesempatan yang baik buat suara perempuan didengar. Tugasnya kemudian adalah memastikan bahwa mereka yang duduk di sana punya perspektif gender yang baik. Women’s Equality Party menjadi salah satu channel untuk memastikan hal tersebut kejadian.
Tetapi dalam perjalanannya tidaklah mudah. Feminisme adalah wacana kelas menengah ke atas, mereka yang berpendidikan dan di dalam kalangan feminis juga terpecah belah lagi, antara penganut first wave dan second wave feminism. Sementara di dunia yang dibatasi dengan warna kulit, maka perempuan berwarna tidak merasa disertakan dalam banyak diskusi dan perjuangan, apalagi kalau perjuangan itu dikomandani oleh perempuan kulit putih, berpendidikan dan berkelas. Apakah sosok itu mewakili “minoritas”? tantangan terbesar bagi WEP adalah memastikan semua yang termajinalkan, perempuan dengan kulit berwarna – perempuan hitam dan latin juga asia, dan disabilitas di antaranya, bisa sama-sama terangkul.
Tapi mengajak perempuan masuk dalam partai saja, itu sebuah pekerjaan berat. Perempuan khawatir tidak bisa membagi perannya dengan baik antara berpolitik di luar rumah dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Perempuan khawatir berpolitik dan disorot media akan memengruhi kehidupan rumah tangganya terutama tumbuh kembang anak-anak. Perempuan penyintas masih berkutat dengan traumanya, perempuan karir memilih menyelamatkan karirnya daripada politik, dan seterusnya.
Dalam penyusunan manifesto WEP, Mayer salah satunya belajar dari negara-negara skandinavia terutama Islandia yang sudah memberikan upah setara laki-laki dan perempuan, memberikan cuti kelahiran yang sama bagi ibu dan bapak tanpa kehilangan gaji mereka. Tetapi jangan kenalkan feminisme katanya di Islandia, justru karena mereka tidak merasa perlu membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.
Soal bisnis, jumlah perempuan di pucuk jabatan masih sangat rendah. Padahal dalam banyak bukti (silakan baca sendiri di dalam bukunya), perempuan terbukti lebih hati-hati dalam memberikan keputusan penting tidak secara emosional dan akhirnya merugikan perusahaan. Keputusan berdasarkan hormone itu mitos, kata Mayer. Perempuan memiliki kemampuan dan kapasitas yang sama dengan laki-laki yang dibutuhkan adalah kesempatan dan perubahan cara pandang. Sebagian besar perempuan harus berlaku seperti “laki-laki” agar bisa diterima dalam lingkungannya, padahal tidak perlu seperti itu, perempuan harus menjadi diri sendiri, dunia yang harus mengubah cara pandangnya terhadap perempuan.
Buku ini menarik buat saya yang belum lama belajar secara teori sebagai feminis, selama ini saya feminis karena pengalaman. Banyak hal menyentil kita kaum feminis yang berkutat terus menerus pada level wacana dan tidak praktis, salah satunya dengan berpolitik.
Lebih jauh tentang WEP, silakan meluncur ke https://www.womensequality.org.uk/