
Merah putih, tersangkut di pohon randu. Benang melayang-layang, menari ditiup angin. “Geli ah,” kata daun yang tersentuh ujung benang. “Tolong singkirkan benang ini. Batang bergeraklah?” kembali teriak daun. Kecuali ada angin sangat besar, atau gempa bumi, batang bergeming.
Tidak seperti tiang bendera yang di depan rumah yang tak kokoh bendera berkibar. Agar terlihat sangat nasionalis, masing-masing rumah berlomba memasang bendera paling besar, dan paling bersih. Tapi tiang, hanya tiang bambu, yang meleyot ke kiri dan ke kanan sesuai angin bergerak meniup bendera. Kalau tiang patah dan bendera terjatuh, maka jatuhlah harga diri pemilik, bahkan bangsa dan negara ini lalu baku hantam. Harga diri itu dimana? Di bendera atau di hati manusia?
Layang-layang berusaha bergerak, menghamba pada angin untuk membawanya pergi. Dia tak sanggup mendengar gerutu daun yang geli tersentu benangnya. Andai dia bisa melepaskan diri dari benang. “Jangan, aku masih ingin dekat denganmu,” kata benang. “Tanpa aku, kamu tak artinya. Tanpa aku, kamu tak bisa menari bersama angin, tak bisa menyenangkan hati anak-anak.” Layang-layang meliuk tubuhnya. “Jangan banyak bergerak, nanti bilahmu patah, kertasmu robek,” kata batang. Batang bertindak bijak, tak memihak daun tempatnya memasak makanan bersama matahari, dan tak juga memaksa tamu tak diundang itu untuk segera pergi.
“Pohon ini, rumah bersama. Untukmu daun, untukmu layang,” kata batang.
“Rumah bersama. Lihat siapa mayoritas di sini. Layang-layang hanya benda mati tanpa guna setelah putus hubungan dengan pemiliknya. Tapi kami… kami ini daun-daun yang menghidupimu batang.”
“Aku pun tak ingin tersangkut di sini bersamamu daun-daun cerewet,” kata layang-layang kesal. Dia bergerak semakin keras. Kertas robek sebagian.
“Berhenti bertengkar. Ketenangan bersama kita tinggal bergantung pada angin. Jika dia datang tak hanya layang-layang yang akan pergi, tapi kau juga daun.”
“Iya tapi paling tidak, yang akan rontoh hanya daun-daun yang tak lagi berguna.”
“Begitukah caramu berterima kasih daun muda? Menyebut kami tidak berguna? Kami yang gugur akan menjadi pupuk baru untukmu. Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu yang sia-sia,” daun tua merapatkan tubuhnya erat-erat pada batang yang bijak.
“Tapi manusia hanya bisa mencipta sesuatu yang sia-sia, seperti layang-layang,” kata daun muda
“Kau sombong daun muda. Tak tahukah kamu, layang-layang membawa kebahagiaan bagi anak-anak, orang tua, dan mempererat hubungan orang tua dan anaknya. Layang-layang bukti kreasi manusia dalam warna dan bentuk,” panjang lebar layang-layang berkata dengan bangga.
Simbol merah putih di tubuhnya juga bukan tanpa sebab, dia merasa bahkan lebih hebat dari bendera yang berkibar raya dan ramai hanya beberapa kali dalam setahun, dihormat tanpa paham apa arti hormat sebenarnya. Layang-layang tersenyum, paling tidak, merah putihnya pernah beberapa kali memenangkan aduan layang-layang. Dia pernah beberapa kali pindah tangan, sampai angin membawanya terlalu tinggi untuk bisa diraih anak-anak. Dia merindukan tawa anak-anak yang mengejarkannya, “aku dapat, aku dapat,” sambil dipeluknya erat-erat layang-layang.
Dari jauh terdengar daun-daun bergesek kencang, ribut, batang saling mengingatkan untuk tetap kuat bertahan, akar jangan menyerah, tetaplah mencengkeram bumi. Daun saling berpelukan, tak ingin terpisah. Daun tua berteriak, waktunya untuk berpisah… “selamat tinggal batang pohon yang bijak.”
Dan layang-layang… “aku bebas” diikuti sisa benang yang ikut menari bersama angin. “Hati-hati benang, jangan kau tersangkut di antara daun cerewet lagi.”
Layang-layang mendarat di antara kaki manusia yang berderam keras, menghentak bumi, membuatnya kotor. Manusia-manusia berlarian, berteriak memaki dengan sebutan binatang. Semua karena bendera yang kabarnya terjatuh terjerembab di atas tanah, batang yang patah, entahlah… lalu manusia harganya berubah serendah hewan karena bendera.
“Seharusnya kita tetap bersama daun cerewet daripada manusia buruk rasa,” benang terbenam terinjak sepatu lars.