Rabu, 22 Mei 2019 lalu, saya harus meninggalkan telepon genggam di meja depan di Lapas Perempuan Kelas 2A, Bandung. Selama kurang lebih tiga jam, saya tidak tahu apa yang terjadi di luar sana, dan ada yang saya terima di telepon pintar itu. Tetapi ceu Devi, yang karena harus mendokumentasi kegiatan, beberapa kali ngedumel betapa lemotnya jaringan, ga bisa kirim dan donlot gambar, katanya. Sekilas saya cuma bilang, di jammed kali ceu karena kan siaga I, sambil melanjutkan kelas Perempuan Menulis. Usai kelas, dan menerima telepon pintar itu lagi, betullah omongan kecil itu, ternyata pemerintah memang membatasi akses ke media sosial.
Saya termasuk yang kalbut, kalang kabut, karena persis saat membuka facebook, berseliweran foto brimob bermata sipit yang dituduh sebagai pasukan import dari Cina. Sebagai anak bekas brimob yang memang Peranakan, meradang lah saya. Terus kenapa kalau memang keturunan Cina tapi mengabdikan diri untuk Indonesia, sementara dia cuma bisa mencemooh nasionalisme orang lain. Kesal saya karena tak bisa menyampaikan tanggapan saat itu juga, keburu lemot, sepanjang hari.
Karena sibuk ngobrol ina inu sama ceuceu, jadilah lupa niat marah-marah itu. Padam sudah. Media sosial saya tinggalkan, telepon genggam dimanfaatkan untuk tethering dan memantau situasi lewat situs-situs berita, sambil memindai bagaimana situs situs berita ini memframming berita 21-22 Mei itu. Untuk komunikasi dengan kawan, saya gunakan SMS, Google Hangout dan Email, kalau perlu sekali ya telpon saja.
Tapi rupanya, di luar sana ramai, yang merasa rugi karena tak bisa jualan online, dan yang merasa tak bebas berekpresi. Saya mengerti dampaknya besar secara ekonomi untuk mereka yang berusaha lewat media sosial, apalagi menjelang hari raya, kejar setoran. Sebutlah saya egois, karena saya ternyata menikmati jaringan lemot media sosial, emosi saya teredamkan oleh ekspresi yang dibatasi dari orang-orang yang menyebarkan berita ga juntrung sumber dan hoax selama beberapa hari ini. Kalau saya butuh informasi, maka saya mencari tahu dari situs berita, atau nonton televisi. Atau mencari sendiri informasi di lapangan, saya chat kawan jurnalis lewat google hangout. Ya saya kelas menengah ngehe yang punya akses alternative untuk mencari tahu yang ingin saya tahu, yang lain tidak.
Media sosial selalu menjadi pedang bermata dua, ada manfaat dan ada mudaratnya, tergantung bagaimana dia dimanfaatkan. Edward Snowden pernah membalas twit saya, ketika saya bertanya, kenapa masih ada di twitter kalau tahu twitter dan semua akses media sosial memantaumu? Dia bilang, untuk menyampaikan pesan. Dia sangat aware, paham kalau media sosial bukan media yang aman untuk kita semua, tetapi konsekuensi harus diambil untuk menyebarkan pesan. Titik beratkan pada dua hal, pesan dan awareness itu. Pesan apa yang disampaikan, untuk mendorong massa untuk turun ke jalan, mengekspresikan emosi, meredam emosi, menahan orang untuk tidak turun di jalan. Awareness, sadar, tahu dan paham, apakah paham konsekuensi dari pesan yang disampaikan, bahwa akan menarik orang untuk percaya pada pesan lalu bertindak sesuai pesan yang disampaikan? Kalau pesan baik, akan mungkin ujungnya baik, tapi pesan yang tidak baik?
Facebook dan Google punya cara memodifikasi perilaku dari penggunanya, menarik semua informasi tentang pengguna, memodifikasinya lalu melemparkannya kembali sesuai “kebiasaan” yang ditangkap algoritma. Saat memodifikasi surplus perilaku yang kita sampaikan lewat status, check in lokasi, berapa lama di lokasi itu, mapping perjalanan kita, buku apa yang dibaca, apa yang kita gunakan, google, facebook dan perusahaan surveillance lainnya bisa memprediksi apa yang akan kita lakukan berikutnya, bahkan bisa mengubah pola perilaku kita. Baca buku surveillance capitalism untuk lebih lengkap soal penjelasannya. Maka ketika media sosial diperlambat jalannya, artinya dihambat juga kerja perusahaan surveillance ini dalam membaca dan memodifikasi perilakumu. Ini salah satu manfaat buat saya ketika media sosial melambat. Artinya pesan-pesan yang bisa jadi memicu hal negative menjadi lebih besar dan tak terkendali, menjadi terhambat. Saya membayangkan kalau kemarin media sosial dibebasliarkan, barangkali surveillance capitalist itu akan menangkap bahwa Indonesia dalam situasi amat darurat, lalu disampaikan pada investor, pebinis atau malah umum di dunia dan berdampak lebih besar dari sekedar IHSG dan kurs turun seperti saat ini. Itu mungkin pendapat awam saya saja. Ketika hoax menyebar dan dampaknya membesar, siapa yang dimintai pertanggungjawaban? Perusahaan media sosial itu tidak akan bertanggungjawab penuh soal ini, dituntut hukum apa dan dimana payungnya?
Ketika seorang berkata, mosok takut sama hoax? Lah! Itu yang terjadi di Amerika saat Donald Trump menang, Brexit di Inggris yang melahirkan aksi rasisme meningkat, dan Brasil, yuk tepuk tangan. Kalau pun ada sejumlah tim cek fakta di media yang menjawab hoax, mau berapa banyak tim yang diturunkan, berapa waktu dihabiskan untuk menjawab hoax atau bukan ketimbang turun ke lapangan mencari informasi yang sebenarnya?
Jika yang menyebarkan hoax atau berita palsu adalah sebuah perusahaan media, kita sebagai pelanggan, bisa melapor ke Dewan Pers untuk diambil tindakan hukum mulai dari peringatan sampai dicabut izin siar. Itulah yang membedakan bagaimana kita mengonsumsi berita, dari media sosial vs dari media mainstream. Jika merasa tak percaya lagi pada media sebagai pilar keempat demokrasi, maka runtuhlah demokrasi itu sendiri. Saya sih masih percaya pada integritas jurnalis dan media di Indonesia meski ada yang memang tidak beres dan hanya mengandalkan click bait, tapi itu lagi-lagi kita kembalikan ke koridor hukum, mereka melenceng, laporkan! Kalau tak percaya pada hukum lantas apa gunanya dirimu bernegara?
Pekerjaan kita masih berat untuk memperbaiki literasi digital di Indonesia. Kalau kita sudah pandai memilah mana berita bener mana tidak, itu aman. Kalau setiap pembaca bisa kritis menanggapi pesan, itu aman. Tetapi kan seperti rahasia umum, orang yang tidak bisa diubah pendiriannya adalah mereka yang fanatic, penuh kebencian dan yang sedang jatuh cinta.
Kita memang punya hak atas kebebasan berekspresi, tapi hak itu bisa saja dibatasi hak orang lain untuk mendapatkan keamanan dan ketenangan. Bagaimanapun, media sosial memang pedang bermata dua, kamu gunakan sebagai apa?