Saya dibesarkan di sekolah negeri, sejak SD sampai kuliah, S1 dan S2. Dari SD ke SMP dan SMA lanjut UI itu berasa bangga sekali kalau bisa keterima di sekolah negeri yang persaingannya ketat, sangat ketat. Tetapi zaman berubah ketika kawan-kawan seangkatan saya mulai punya anak, lalu mereka berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang mereka percaya punya sistem pendidikan yang jauh lebih baik daripada sekolah negeri. Sewaktu kakak Zi beranjak dari TK ke SD, kami pun begitu, saya, adik saya (ibunya Zi) dan mami. Entahlah kenapa akhirnya kami bertiga yang menjadi penentu arah pendidikan di keluarga Lina, adik saya, mungkin karena kami bertiga punya peran sama penting untuk membesarkan Zi.
Saya dan Lina survei ke beberapa sekolah swasta, mulai yang umum sampai yang membawa nilai agama. Secara finansial, harganya menakjubkan, puluhan juta. Pulang dari sana, kami selalu tertawa miris sambil minum kopi, “rumah masih ngontrak, sekolah jutaan begitu, darimana duitnya na?” akhirnya, kami diskusi lagi lebih dalam dengan mami, sebenarnya apa sih yang dicari dari sebuah sekolah? Mami mengajak kami kembali ke masa kecil dulu. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah sekolah negeri begitu buruknya? Kalian berdua itu besar di sekolah negeri, ada yang salah sama itu? Kamu ga jadi kamu sekarang kalau ga di sekolah negeri, mami dan papi mana sanggup menyekolahkan kalian di swasta, tapi sekolah negeri pun tak seburuk itu.
Di tengah zaman yang terpolarasasi oleh agama, umatnya merasa agamanya adalah yang paling baik di antara lain, maka buat kami penting untuk membawa Zi untuk kenal dengan anak-anak dari latar belakang agama berbeda. Sekolah negeri punya itu. Tidak sempurna, pasti, karena sempurna itu punyanya…. Allah…. Pinterr… tapi di sekolah negeri, dia bertemu dengan anak-anak lain beragama Kristen, Hindu, Budha, sampai Konghucu. Syukurnya kami ada di sebuah kecamatan yang beragam. Dekat rumah ada Pura Bali, dia tahu ada yang beda di sekitarnya, kita tinggal mengisi pengetahuannya tentang Hindu dan budaya Bali. Sesekali dia pulang dengan cerita tentang anak-anak sekelasnya yang suka bilang kafir, di sana peran orang tua penting menjelaskan tentang hal yang paling sering disalahgunakan ini.
Di sekolah kakak bertemu dari anak orang kaya sekali yang semua perlengkapan sekolahnya bermerk Smiggle. Saya dan kakak Zi sama-sama buta tentang merek yang ternyata terkenal mahal ini. Untungnya anak itu bangga sekali dengan Eiger di tas punggungnya. Seperti saya, dia memerhatikan fungsi bukan gengsi. Di sekolah itu, kakak zi berteman dengan anak-anak yatim piatu, anak-anak single parent yang ayahnya mengantar saban pagi, lalu pergi ke kantor dan menitipkan pada ojek langganan untuk menjemput, anak-anak tukang cuci pakaian, sampai anak-anak dari bapak dan ibu kantoran. Dia belajar mengasah empatinya di sana.
Di kelas dengan 30 anak dan satu guru, tentu kita bisa bilang, gurunya tidak akan mungkin memerhatikan satu persatu anak. Ya tidak perlu juga sik sebenarnya, biarlah anak-anak itu tahu bagaimana berkompetisi sehat, tidak perlu merasa “dimanja.” Anak-anak sekolah negeri diajar “keras” memang, semua dipukul rata. Belajar berdasarkan kurikulum yang berat itu, tapi kan itu sama dengan swasta toh, UN juga sama kok. Kalau perlu tambahan pelajaran agar tidak tertinggal, anak-anak bisa ikut les di luar sekolah, atau malah dengan gurunya sendiri.
Bunda Yani, guru Zi, bukan tipikal guru favorit saya. Tapi dia juga tak sepenuhnya buruk. Setiap hari memberikan PR yang tujuannya bukan sekedar tambahan pelajaran. Dalam setiap kesempatan di WA Group dia mengingatkan orang tua untuk membantu anaknya menyelesaikan PR. Menurut dia, PR itu jembatan paksaan komunikasi orang tua dan anaknya, belajar bersama dan tanggungjawab bersama. Kalau ada anak yang tidak mengerjakan PR, Bunda Yani ini akan memotret anaknya dan bilang kira-kira begin pesan yang ingin dia sampaikan “orang tua bertanggungjawab atas anaknya, bukan saya saja.”
Bagi saya terutama, kakak Zi belajar banyak dari sekolah negerinya, dia mengasah empati, belajar toleransi dalam sosialisasinya sehari-hari. Soal pelajaran, bukankah kita sebenarnya sepakat ini nomor sekian, bahwa mengasah emotional intelligent adalah penting daripada hanya intellectual intelligent. Saya senang kakak Zi mendapatkan nilai 100 di matematika, and she does great in math, tapi saya bangga dengan ceritanya yang tidak lagi mau naik jemputan, karena supirnya selalu merasa agama dia terancam. Buat kakak Zi, itu bukan konsumsinya, buat dia tidak penting curhatan macam itu, yang penting dia dari rumah ke sekolah sampai ke rumah lagi dengan selamat. Sejak minggu lalu, dia pilih naik ojek, mesti kehujanan, “tas ku (eiger) keren deh mey, buku ku hanya lembab tapi ga becek, ga tembus air.”
Jadi dua tahun lagi kakak Zi akan kemana? Kami tetap bersepakat untuk mengusahakan dia masuk sekolah negeri unggulan. Mengasah empati dan toleransi adalah pelajaran seumur hidup, di rumah, di sekolah dan di manapun dia bergabung, yang paling penting, kami menjaga lingkungan keluarga besar sekitarnya tetap berada di jalur yang Insya Allah memberikannya contoh yang baik tentang empati dan toleransi.