Media Sebagai Pabrik “Kesepahaman” – Review #3 Manufacturing Consent by Noam Chomsky and Edward S. Herman

Standar
Media Sebagai Pabrik “Kesepahaman” – Review #3 Manufacturing Consent by Noam Chomsky and Edward S. Herman

Sebelum kita mengulas isi, saya bagikan informasi umum tentang buku ini. Buku Manufacturing Consent diterbitkan pertama kali tahun 1988, lalu terbit lagi di 2008. Setelah usianya 31 tahun pun, ternyata buku ini justru semakin relevan untuk menganalisa apa yang sebenarnya terjadi dengan Media. Herman dan Chomsky menyusun buku ini sebagai analisa terhadap media di Amerika pasca perang dunia pertama, hingga masa perang Vietnam, menyebut juga tentang bagaimana posisi media Amerika terhadap pemberitaan penjajahan Indonesia terhadap Timor Timur 1975.

Buku ini kemudian menjadi penting untuk dibaca ulang, terutama sejak pemenangan Donald Trump 2016, dan juga pemilu di Indonesia akhir-akhir ini yang dibanjiri berita palsu dan hoax. Tapi saya justru membaca buku ini ketika membaca sebuah artikel yang ditulis jurnalis Israel tentang bagaimana media Israel memoles berita tentang Palestina.

Perjuangan media untuk independen dalam menyebarkan informasi tidak pernah mudah, dan tidak juga bebas nilai. Media sangat boleh untuk mengambil nilai-nilai yang dipercayainya, tapi tetap harus mengikuti koridor aturan baku dalam jurnalisme, ada etika, ada kewajiban untuk hanya menyiarkan informasi dengan data yang akurat dan dapat diverifikasi juga seimbang.

Yang public perlu tahu adalah Media tidak bergerak sendiri sebagai sebuah institusi. Ada kepentingan yang bermain di sebuah perusahaan media, yang kemudian menyaring berita untuk memenuhi kepentingan atau tidak melanggar kepentingan tertentu. Apakah anda sebagai pembaca berita pernah bertanya bagaimana sebuah berita bisa menjadi headline sementara yang lain tidak? Siapa yang menentukan berita ini penting atau tidak? Siapa yang menentukan penempatan posisi berita dalam sebuah majalah cetak maupun udara? Atas dasar apa itu dilakukan?

Ada lima filter atau saringan dalam organisasi media sebagai sebuah perusahaan dalam menentukan berita:

  1. Size, Ownership and Profit Orientation (Ukuran, Kepemilikan, dan Orientasi Keuntungan). Media mainstream biasanya berbentuk perusahaan yang digerakan untuk memperoleh keuntungan. Mereka harus memerhatikan kepentingan pemilik modal yang ingin investasinya kembali. Karena itu di masa saat ini yang dikejar adalah rating, click bait, jumlah pembaca dan pemirsa yang bisa mendatangkan iklan sebesar-besarnya untuk memperoleh keuntungan. Di Indonesia, media mainstream dikuasai para mogul media yang jumlah sebenarnya hanya kirakira lima orang – contohnya saja MNC Group, CTCorp, Media Indonesia yang mengusai konvergensi media di Indonesia. Apakah para pemilik modal ini tidak berkepentingan dalam pemberitaan? Coba pikirkan lagi.
  2. The Advertising License to Do Business: revenue stream atau sumber pendapatan utama media sebagai perusahaan berasal dari iklan. Nah langsung ataupun tidak langsung, para pengiklan ini memiliki otoritas untuk mengatur sebuah berita. Ketika sebuah media memberitakan tentang bahaya MSG misalnya sementara mereka menerima iklan dari perusahaan kaldu buatan, apakah itu tidak akan kontradiktif dan menjadi perdebatan internal? Atau perusahaan media yang menerima iklan dari perusahaan tambang, apakah masih akan memberitakan berita tentang kerusakan lingkungan akibat perusahaan tambang?
  3. Sourcing Mass Media News – Sumber berita media massa: menurut Herman dan Chomsky, birokrasi – birokrasi pemerintahan adalah supplier berita, menyiapkan materi berita dan mengatur bagaimana sebuah isu menjadi berita. Tidak Cuma dalam bentuk rilis pers, tapi juga potongan video, suara dan sebagainya. Mengatur temu pers, kunjungan pers adalah bagian dari ini. Di radio tempat saya bekerja dulu kami menyebut berita yang disupplai ini sebagai berita cangkeum. Diundang dalam sebuah konferensi pers dan wawancara dengan narasumber untuk tidak Cuma satu berita tapi bisa jadi sekian potongan berita yang sumber dia-dia lagi, itulah kenapa kami sebut sebagai berita cangkeum. Yang perlu dikritisi juga, apakah setiap hal yang keluar dan disiapkan oleh pejabat pemerintahan adalah sebuah berita? Apakah umum berkepentingan di dalamnya?
  4. Flak and the Enforcers: Flak itu respon negative atas pemberitaan sebuah media, seperti gugatan masyarakat, keluhan. Flak ini bisa berdampak mahal bagi media karena kehilangan iklan belum lagi dana yang keluar kalau harus menempuh jalur hukum. Flak bisa diorganisir oleh sekelompok orang berpengaruh atau Think Thank.
  5. Anti-Komunisme, adalah ketika media digunakan sebagai alat propaganda pemerintah menolak komunisme dan terus menerus digaungkan. Chomsky menulis ini untuk menjelaskan media saat perang dingin berlangsung (1945 – 1991). Anti komunisme kemudian berganti dengan jargon “Perang melawan Teror” pasca serangan WTC September 2001. Di Indonesia gaung anti komunisme tak pernah berhenti, lihat bagaimana pemberitaan besar-besaran tentang rampasan buku yang dianggap menyebar paham komunisme dan PKI oleh TNI. Selain Perang melawan Teror juga terus dibunyikan.

 

Dalam bagian kesimpulan, Herman dan Chomsky mengatakan komersialisasi gelombang udara milik public harus ditentang. Dalam masa mendatang, tatanan politik demokratis akan merasuki dan mengendalikan media. Organisasi dan kelompok dalam masyarakat, jejaring aktivis menjadi elemen penting untuk menjaga demokrasi dalam tatanan kehidupan sosial dan untuk melakukan perubahan sosial. Salah satunya untuk memastikan kita membangun dan mendapati sebuah media yang bebas dan independen.

Ada satu yang juga menarik untuk dicatat, ketika sebuah berita disebut sebagai sebuah skandal besar, Chomsky menilainya itu karena berita tersebut tentang hal melanggar kepentingan salah satu pihak.

31 tahun lalu buku ini dan kita masih berjuang untuk itu. Entah lah disebut beruntung atau tidak dengan kemunculan digital dimana seharusnya kita punya alternative cukup banyak untuk memilah berita yang baik, benar dan relevan dengan kebutuhan kita sebagai warga negara. Tapi di sisi lain, keterbukaan dan kebebasan mencari sumber berita membuat public terjebak pada masalah berita bohong atau hoax, mana yang perlu dipercaya menjadi kabur. Bahkan kebenaran itu sendiri menjadi kabur, untuk kepentingan siapa?

Publik perlu paham bagaimana media bekerja, apa yang dimaksud dengan berita, bagaimana dia didapat dan direpresentasikan. Public harus kritis terhadap semua informasi yang diterima, pintarlah menyaring sebelum berbagi. Sharing is not caring, sharing without self-filtering is dangerous..

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s