Metamorfosa manusia dalam keluarga imigran di Amerika – The Golden’s House by Salman Rushdie. Review# 34

Standar
Metamorfosa manusia dalam keluarga imigran di Amerika – The Golden’s House by Salman Rushdie. Review# 34

Sebuah keluarga Bombay hijrah ke Amerika setelah kematian isteri dan lari setelah bisnis kotornya di India mulai digaruk polisi (lalu terbayang kapten vijay *halah). Si bapak bermetamorfosa dengan nama Nero Golden, diambil dari nama raja di zaman romawi, dan mengecat pirang rambutnya. Lalu tiga orang anak laki-lakinya memilih nama mereka masing-masing, Petya, Apu dan D Golden. Keluarga ini memiliki bisnis menggurita terutama di bidang seni, di sanalah muncul Rene, pembuat film yang tertarik untuk menyelidiki dan mengangkat film dari cerita keluarga The Golden ini. Dari Rene kita akan diajak berkenalan dengan tokoh dalam buku ini dan bagaimana keluarga ini meninggalkan ke-bombay-an dan menjadi bagian dari Amerika.

Dalam novel ini Salman Rushdie ingin menyampaikan bagaimana Amerika bermetamorfosa sebagai sebuah negara. Di bawah kepemimpinan Obama, perbedaan, isu rasial, kesenjangan ekonomi, dan gender identity, seolah tak ada. Tetapi Amerika menyimpan sekamnya yang kemudian terbakar di masa kampanye Donald Trump. Mengutip novel “senjata api seperti hidup dan kematian adalah hadiah acak yang diberikan kepada manusia” kutipan itu muncul saat Petya mati dihujam peluru yang dimuntahkan pelaku ke arah sekumpulan orang yang berpesta Halloween. Amerika bukan negara super power, yang melindungi dunia, tapi sebaliknya kata novel ini, Super Villian – penjahat paling jahat yang menghancurkan warganya sendiri dan dunia.

Keluarga Golden memiliki kekurangan atau “sakitnya,” Nero sang ayah yang berlaku macam raja yang flamboyant dan kuat ternyata seorang yang lemah, kacung dunia mafia ala the God Father yang lari dari masa lalunya. Petya si sulung yang alcoholic, penyandang Asperger yang membuatnya sulit bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang lain. Saat perempuan yang diinginkannya ditelikung sang adik, saat itulah hubungan darah terputus. Apu, anak tengah yang merasa paling normal karena harus menjaga kakaknya sejak kecil, tetapi “sakit” dalam jiwanya. Dia lah yang memahami alasan utama kenapa keluarganya lari ke Amerika, dan berusaha melupakannya dengan obat-obatan. Apu seorang seniman flamboyan. D Golden, si bungsu yang mengalami krisis identitas. Dia merasa terperangkap dalam tubuh laki-lakinya. Dia merasa seperti perempuan tapi tak ingin mengganti kelamin. Dari D, saya diajak memahami perjuangan menemukan identitas diri, dan perdebatan tentang gender, sexualitas sampai soal pemilihan toilet di Amerika.

Yang menarik dari novel ini adalah karakter perempuan yang diciptakan oleh Rushdie. Para perempuan yang tahu apa yang mereka mau. Mari bertemu Ubah, perempuan Somalia yang diperebutkan oleh Petya dan Apu  dan memilih Apu, seorang seniman yang independen, lewat karyanya dia bicara tentang Amerika. Sucitra, favorit saya, kekasih Rene, yang sangat mandiri, seorang pembuat film. Setiap kali punya pacar dia mengeluarkan tiga syarat utama: make your own money (cari duit sendiri / punya penghasilan), have your own apartemen (punya rumah atau apartemen sendiri) and don’t ask me to marry you (jangan pernah ngajakin gue kawin). Dia tak bisa diganggu saat kerja, sepenting apa pun itu, tapi dia selalu punya waktu untuk bercinta dengan kekasihnya Rene. Lalu Riya, kekasih D Golden, buat Riya urusan gender itu tidak ada hubungannya dengan hasrat dan cinta. Toh Riya tetap mencintai D dengan gegelisahaan dirinya. Lalu tokoh utama perempuan dalam novel ini Vallisa, sang ratu yang memiliki kecantikan Rusia. Dia tak mencari suami, dia mencari Tsar, pemimpin yang mampu dikendalikan dengan kekuatan pesonanya.

 

Mendekati akhir, terutama di bab 31-32, agak membosankan cerita yang ditarik ke belakang, alasan kenapa Nero meninggalkan Bombay atau Mumbay. Lalu di bab 34, sudah bisa ditebak ujung cerita Rene, Sucitra dan anak haram Rene dan Valisa.

Barangkali ini kali pertama, di novelnya yang ketiga belas Rushdie berusaha membawa tema kekinian dalam tulisannya. Saking banyak yang ingin dia sampaikan, menurut salah satu review, jadi sangat dangkal bahasannya. Somehow it is true, menghadirkan lebih dari dua atau tiga konflik dalam sebuah novel itu berlebihan, mending menulis non fiksi. Tapi bagaimana pun, ini Rushdie yang mampu menghadirkan tokoh yang kuat dalam ceritanya, dan sentuhan khas magic, imajinasi hitam tentang sihir tetap dia munculkan. Secara keseluruhan saya sangat menikmati 380 halaman ini, tidak pakai “tapi” J

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s