
Hari ini, 14 November 2018, menjadi pertemuan kami, Kait Nusantara dengan Warga Binaan di Lapas Perempuan Kelas 2A Bandung yang ke 10 untuk Kelas Perempuan Menulis yang sudah berlangsung sejak pekan pertama September lalu. Awalnya kelas Perempuan Menulis ini untuk memperkenalkan menulis sebagai kegiatan yang dapat “menyembuhkan” luka, stres dan depresi yang mungkin dialami oleh Warga Binaan. Tetapi seiring waktu berjalan, kelas Perempuan Menulis di Lapas ini malah menjadi bagian dari sebuah wacana besar dari Ditjen Pemasyrakatan Kemenhukham untuk program Remisi Literasi.
Remisi Literasi adalah pemberian remisi kepada narapidana yang membaca buku, kegiatan ini meniru langkah yang dilakukan Lapas di Brasil dan Italia. Direktur Pembinaan Napi, Latihan Kerja dan Produksi Ditjen Pemasyarakatan Kemenhukman, Harun Sulianto mengatakan, “di Brasil dan Italia, Napi yang baca buku setebal 400 halaman dapat remisi minimal 4 hari, dan jika baca 12 buku setahun dapat remisi hingga 48 hari,” seperti dikutip dari media Kumparan, 24 Februari 2018.
Sebagai bagian dari wacana tersebutlah, 20 September lalu adalah tenggat waktu penyerahan karya tulis warga binaan berupa esai, cerita pendek dan puisi untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Lapas Se Indonesia dengan tema besar, Jejak Langkah Menuju Kebebasan.
Kehadiran Perempuan Menulis dari Kait Nusantara adalah sebuah kebetulan, kami menyebutnya, memang sudah jodoh untuk mengerjakan proyek ini. Modul yang semula diperuntukkan sebagai “healing” atau terapi penyembuhan, malah menjadi proyek pelatihan menulis yang dikebut dalam enam kali pertemuan.
Pertemuan pertama dihadiri 25 perempuan yang lebih bersemangat untuk mendapatkan remisi daripada belajar menulis, karena pada dua pertemuan berikutnya menyusut menjadi paling banyak 10 perempuan. Tapi begitu mendekati hari penyerahan tulisan, kembali saya dihujani banyak tulisan yang minta dikomentari. Semestinya menulis adalah proses belajar untuk mengenali diri, lingkungan, belajar observasi dan menyampaikannya dalam bentuk deskriptif ke dalam sebuah bentuk cerita atau story telling. Sayang memang, kami Perempuan Menulis hanya punya waktu sebentar untuk menamati modul belajar menulis. Berjibaku menulis tangan, lalu saya bantu edit, ditulis ulang dengan tangan, lalu disalin oleh petugas Lapas dalam format “Word”, diedit lagi oleh pihak lapas, yang lolos dalam seleksi merekalah yang kemudian dikirimkan kepada panitia. Proses yang panjang.
Bagaimana pun, jika Remisi Literasi akhirnya diberlakukan, adalah sebuah gebrakan yang patut diapreasiasi untuk Kementerian Hukum dan Ham yang satu langkah lebih maju dari Italia dan Brasil. Seseorang tidak akan bisa menulis tanpa membaca, mereka yang menulis sudah pasti membaca. Tak harus ditarget dengan membaca 12 buku tahun, tapi harus mampu menulis berbagai karya fiksi maupun non fiksi. Membaca saja tak cukup, tapi membaca dengan kritis dan dituangkan dalam tulisan, semestinya bisa mengubah seseorang dalam memandang hidup.
Remisi literasi bukan untuk Napi Tipikor
Menjelang tenggat waktu penyerahan karya tulis, ada setidaknya lima orang yang tetap santai tidak memberikan contoh tulisannya pada saya. Selama proses belajar kilat itu, salah satu di antaranya Ibu Nia, punya cerita yang menarik dan layak untuk dituliskan sebagai sebuah esai atau mungkin cerpen. Semasa bebas di luar Lapas, Ibu Nia orang yang sangat sibuk, matanya tak lepas dari layar telepon genggam, bisnis dan bisnis. Ketika anak perempuannya yang beranjak gadis berbicara dengannya, ibu Nia hanya menyahut sekedarnya, sibuk. Sampai saat ibu Nia divonis harus menjalani hukuman di Lapas ini, sang anak menyindir “sekarang ibu lepas dari hape, punya waktu untuk mendengarkanku tapi tak ada di sampingku.”
Cerita itu begitu kuat buat saya untuk diceritakan olehnya, sebagai bahan refleksi para orang tua di mana pun berada, di luar lapas. Saya mendorongnya untuk menuliskan itu, tapi hanya ditimpali dengan ogah-ogahan, “Saya mau menuliskan itu, tapi bukan untuk lomba. Percuma mba, kami napi tipikor mau ikut apa pun percuma, tidak akan dapat remisi kalau tidak bayar denda dari vonis pengadilan. Saya ini apa? Katanya korupsi, tapi sumpah mba, membayar denda saja tidak sanggup, tidak pernah lihat uang yang dituduhkan itu.”
Saya merasa tersentuh. Kalau segala macam pembinaan tidak berarti reward buat warga binaan kasus tipikor, kecuali melunasi denda, lalu pembinaan macam apa yang membuat mereka berubah dan menjadi “lebih baik”? Maka tidak heran kalau mendengar cerita-cerita sumbang tentang proses pembinaan yang sia-sia di lapas sebelah, atau lapas kelas 1 Sukamiskin yang didiami Setya Novanto dan kawan-kawannya yang bermewah-mewah di dalamnya. Mereka mau lakukan apa lagi coba? Belajar bikin roti? Menyablon kaos?
Dalam Peraturan Pemerintah No.99 Tahun 2012, tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan pasal 34A ayat (1), disebutkan Pemberian Remisi salah satunya kepada narapidana tindak pidana korupsi dengan syarat “telah membayar luas denda atau uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan”
Tentang pembayaran denda juga disebutkan dalam Pasal 10 huruf b Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No.3 tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimiliasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat (“Permenkumham 3/2018”), sebagai berikut:
Narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi untuk mendapatkan Remisi, selain harus memenuhi pesyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juga harus memenuhi syarat:
Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; dan
Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
“Kami mau belajar menulis, karena memang ingin belajar menulis mba Nita,” begitu kata Ibu Nia dan lima napi tipikor lain kepada saya setelah lewat tenggat waktu lomba karya tulis tingkat Lapas se Indonesia. Itu lah yang membuat kami semangat untuk melanjutkan proses Perempuan Menulis hingga pertemuan ke 10 ini. Apakah kami punya target? Iya, maunya kawan-kawan kami menerbitkan sendiri buku kumpulan cerita pendek dari Lapas Perempuan Kelas 2A, Bandung.
Mengutip Arswendo yang pernah ditahan di Salemba, “ tempat terbaik untuk jadi pengarang itu adalah di dalam Lapas, karena keberagaman Napi dari berbagai latar belakang dapat dijadikan tokoh menarik, kemudian ada konflik dan ada keunikan materi, sehingga cerita di Lapas pasti menarik.”
Perempuan Menulis di Lapas Perempuan
Dari sekian banyak kelompok perempuan, kenapa Perempuan Menulis dari Kait Nusantara memilih Lapas Perempuan? Sebuah pilihan secara kebetulan. Perempuan Menulis tidak secara khusus menargetkan Lapas Perempuan sebagai pilihan pertama program ini. Tetapi kami bersyukur mendapatkan kesempatan untuk berbagi pengalaman dan meningkatkan literasi perempuan yang menjadi Warga Binaan di Lapas Perempuan Bandung ini.
Di awal-awal perjumpaan, kegiatan menulis menjadi ajang curhat penuh cucuran air mata setiap kali kata kunci, ibu, makanan, dan anak dilemparkan untuk menjadi sebuah cerita. Pada pekan berikutnya, menulis bukan sekedar ajang curhat dan penyembuhan, tapi sebuah keterampilan yang bisa dibawa pulang saat keluar nanti. “Bisakah kami hidup dari menulis?” tanya ibu Dewi. Saya jawab dengan senyuman, selama ini, kekuatan saya di menulis dan menulis memberikan saya kehidupan. Kemampuan menulis laporan dengan deskriptif dan bercerita menjadi sebuah keunggulan di masa semua orang menulis kaku hanya berdasarkan diagram, angka, tanpa bunyi.
Kawan-kawan mulai belajar menggunakan otak kanan untuk berkhayal di luar jerujinya. Biarlah jeruji memenjarakan fisik mereka, tapi tidak kemampuan imajinasi mereka. Bisa jadi keluar dari Lapas mereka bisa menjadi pendongeng yang hebat, penulis cerita anak, penulis puisi dan penulis skenario seperti yang dicita-citakan salah satu warga binaan bisa terwujud.
Perempuan Menulis hanya memperkenalkan proses teknis penulisan yang deskriptif dan bercerita, sedangkan tema dan gaya penyampaian, dibebaskan. Desember 2018, kami berharap sudah dapat menerbitkan kumpulan cerita pendek karya Warga Binaan Lapas Perempuan Kelas 2A, Bandung.