
Sepasang suami isteri lanjut usia Axl dan Beatrice melakukan perjalanan mencari anak semata wayang mereka. Tetapi si suami Axl bahkan tak lagi ingat bagaimana rupa anak mereka, di mana dia tinggal dan bagaimana dia meninggalkan orang tua rentanya ini. Beatrice sang isteri samar-samar mengingat dimana dia tinggal. Ketika merasa warga di desa mereka tinggal tak lagi menerima kehadiran mereka, keputusan itu diambil, pindah ke desa tempat anak mereka tinggal. Dimana pun itu, Axl memasrahkannya pada ingatan sang isteri.
Cerita menarik terjadi sepanjang perjalanan, pertemuan dengan dua ksatria Saxon dan Briton yang sepanjang sejarah terutama saat Raja Arthur di Inggris berkuasa, perang besar terjadi. Jutaan orang mati, bahkan anak-anak dibunuh dengan alasan mematikan satu generasi yang akan tumbuh dengan kebencian kepada Briton. Kedua satria ini masih ingat tentang sejarah itu, meski saling bersitegang tapi mereka menghormati pasangan renta ini. Mereka tak lagi hanya ingin bertemu anak mereka, tapi juga membunuh naga yang telah menghembuskan napas yang membuat semua orang seantero Saxon dan Briton kehilangan ingatan. Kehilangan ingatan membuat kedua bangsa berseteru itu menjadi bersahabat, hidup berdampingan dan kebencian terputus.
Mereka berkumpul di biara, seorang pendeta bijak mempertanyakan misi ini, “Untuk apa membangkitkan ingatan yang mungkin akan mengubah “kebaikan” yang sedang terjadi? Bukankah ada hal-hal yang sebaiknya tersembunyi dalam ingatan dan tidak perlu dibangkitkan kembali?
Pasangan renta yang mesra sepanjang perjalanan itu pun berjanji jika semua ingatan mereka kembali termasuk yang terburuk, tidak akan ada yang akan berubah di antara mereka, tetaplah mesra seperti saat ini, tetaplah saling asih dan asuh.
Baca sendiri ya apakah misi mereka membunuh si naga berhasil dan ingatan mereka kembali.
Buku ini sudah sempat dilewati tiga buku lainnya, karena perlu waktu lama buat saya untuk bisa menikmati buku ini. Pilihan kata yang digunakan di buku ini bikin kening saya berkerut, tidak familiar, barangkali karena disesuaikan dengan seting cerita di masa lalu. Misalnya menggunakan kata “errand” dan bukan “business or matter” untuk bilang “menyelesaikan tugas,” atau “apa yang menjadi urusanku” atau memilih kata “foe” untuk bilang demon or evil. Tapi secara keseluruhan cerita ini menarik dan indah menggambarkan kehidupan pernikahan yang sudah puluhan tahun dengan suka dan dukanya, mempertanyakan cinta yang mungkinkah semesra dulu.
Cerita naga yang penuh filosofi, kalau kita bisa melupakan hal buruk, kenapa harus mengingatnya kembali? Kalau bisa memilih mana hal untuk dilupakan, bisakah itu dilakukan? Yang paling seru adalah jika sebuah sejarah buruk dilupakan untuk memutuskan rantai kebencian, apakah etis untuk dilakukan?
Anak-anak yang lahir dan bertumbuh dari keluarga yang membenci tetangganya, akan melahirkan generasi penuh dendam, kebencian abadi, perang yang merugikan semua pihak, tak ada pemenang. Dengan alasan untuk memutus mata rantai itulah, Merlin mengutuk napas sang naga menjadi obat pelupa bagi siapa pun yang dilintasi kabut napas itu.
Apakah kita perlu melupakan sejarah gelap bangsa ini juga? Apakah rekonsiliasi bisa terjalin dengan melupakan sejarah yang pernah ada?
Selesai membaca buku 362 halaman ini, saya akhirnya paham, Kazuo memang layak mendapatkan nobel sastra. Iya dong, sebagai murakamian sejati, saya perlu paham kenapa selalu orang lain yang dapat nobel dan bukan murakami yang jadi langganan kandidat penerima nobel sastra bertahun-tahun.