
Buku ini jadi ada keterikatan personal buat saya. Sekitar Juli akhir saya sibuk mencari kantor virtual untuk lembaga baru yang saya bangun bersama kawan-kawan perempuan, lembaga ini kegiatan utamanya untuk pemberdayaan perempuan. Beberapa co-working space saya kontak di Cimahi dan Bandung, tapi begitu menjelaskan kami bergerak di pemberdayaan perempuan, semua tutup telepon dan tidak membalas ulang email atau WA, saya. Salah satunya terang-terangan bilang, kami hanya support start-up mba, yang bergerak di bidang ICT, atau IT…. ah Okay!
Senior di lembaga saya dulu pernah mewanti, dia mengamati booming start-up ini sejak 2012, dengan masuknya Venture Capitalist dan bergesernya social entrepreneurship menjadi sosial bisnis. Mereka yang murni bergerak di isu sosial, kudu dipaksa berpikir dua tiga kali dengan kalimat, “kamu harus sustain, tidak bisa bergantung pada donor, sekarang bukan donor berkurang, adanya investasi sosial.” Lalu makin hari makin sedikit yang merekomendasikan kegiatan sosial, tanpa iming-iming bisnis. Kalau bergerak di pendidikan gratis, caranya bertahan adalah jualan merchandise. Kalau bergerak di isu perempuan, caranya jualan karya yang dibuat perempuan. Tapi itu tak terlalu seksi buat venture capitalist, ga scale up istilahnya, ga balik modal lebih tepatnya. Susah bener mau bilang, kapitalis ya kapitalis, mereka berharap modal balik, sedikit apa pun, selama apapun, hanya mengalami penghalusan kata dengan “sosial”. Yang sial ya kawankawan aktivis yang keras, idealis, murni untuk aktivism lalu disuruh mikir apa bisnis yang bisa berkelanjutan untuk membiayai aktivism nya? Nah loh. Untuk bisa bertahan, kudu beradaptasi katanya, salah satunya dengan kecanggihan teknologi. Semua kegiatan dikemas dalam balutan IT jika ingin bertahan, ceunah
Tapi buku ini agak memberikan sedikit saja “bahagia” untuk tahu yang menderita bukan kami saja yang bergerak di isu sosial hahaha. Ternyata di Silicon Valley sana, pusat dunia teknologi informasi, kesengsaraan para start-up itu bertubi-tubi. Yang menjadi “dewa” adalah pencipta facebook, twitter, google dan apple, semua berlomba-lomba untuk mengikuti jejak mereka. Tapi kenyataannya pait pait pait, Harvard School of Business 2004 lalu mengeluarkan hasil penelitiannya bahwa 95% start-up itu gagal. Yang 5% berhasil itu lebih karena mereka kenal siapa yang berkuasa, orang penting, lulusan mana, atau memang punya duit sendiri. Yang gagal itu mereka yang disebut “fresh-off-the boat” mereka yang tak punya koneksi dengan para elit dunia teknologi, dan masih percaya pada jargon-jargon kolaborasi, peluang, meritokrasi – kesempatan yang diberikan berdasarkan kemampuan, dan persahabatan atau persaudaraan para kutu buku atau geng cupu. Ternyata tidak! Salah satu narasumber di buku ini bilang, “kalau kamu lulusan Stanford, seburuk apapun idemu, pasti ada investor yang masuk.” Sebegitunya…. faktor lain disebut, sejelek apapun, sekonyol apapun idenya, asal tampilan presentasinya bagus, you are IN! Semua tentang bagaimana kamu menjual idemu saat pitching berlangsung.
Di dunia yang katanya canggih ini, hanya ada batas tipis antara Work and Play, bekerja dan bermain. Kata-kata bekerjalah sesuai hobi dan passionmu itu menjebakmu pada sebuah perbudakan tanpa sadar. Karena hobi, kita tak lagi berhitung jam kerja, kondisi pekerjaan, dan kesehatan, karena passion kita bisa bekerja 24 jam tanpa henti. Kan ini bukan kerja, ini sambil main, begitu dalihnya. Kan ini bukan kerja, ini passion, begitu jawabnya.
Tech-preneur bukan buruh! Itu jargon yang digaungkan karena mereka bangga pada profesi sebagai techno preneur. Padahal, nasib start up mereka tetap bergantung pada modal. Begitu masuk modal, rencana bisnis mereka bisa sangat mudah diacak-acak sesuai keinginan pemodal. Semua detail program harus diserahkan pada pemodal, begitu start-up mati, si pemilik modal bisa menggerakannya sendiri, yang punya ide? Mampuslah.
Kesibukkan menjadi sebuah simbol. Kalau santai, dianggap tak bekerja, menjadi beban. Maka bekerja dengan giat, menjadi simbol sosial. Akibatnya kelelahan akibat kesibukan menjadi hal yang glamor bisa dibanggakan di tengah-tengah pergaulan sosial.
Buku ini ditulis oleh Corey Pein, seorang jurnalis yang fokusnya memang menulis tentang informasi teknologi. Beberapa kali mencoba membangun start-up sendiri lalu gagal, karena itu dia datang ke Silicon Valley untuk dua hal, mencari tahu bagaimana menjadi start-up di sana, barangkali berhasil dan menulis cerita tentang kehidupan di Silicon Valley. Barangkali kalau dia berhasil dengan start-up nya, tulisan di buku ini tidak pernah kejadian J
Saya memang suka mencari tahu hal lain di balik sebuah tren. Start-up di Silicon Valley mulai turun trend nya tahun lalu, di Indonesia, justru lagi booming. Pemodalnya banyak, pemerintah juga support start-up, anak-anak muda bangga sekali menjadi CEO anu dan Co Founder itu, merasa lebih prestise dibanding menjadi karyawan sebuah perusahaan. Anyway, selama kamu tidak mengorbankan hak-hakmu sebagai pekerja oops, sebagai manusia deh, dan menikmati hidup yang seimbang, silakan saja. Bekerja bukan bermain yang dibayar dan menghasilkan. Bekerja ya bekerja, kamu berhak atas asuransi kesehatan, dan keselamatan dalam bekerja.
Nikmati hidup seimbang, jangan sampai kamu mati sebelum bisa menikmati hasil kerjamu.