
Butuh 18 hari untuk saya akhirnya bisa bilang, OK lah dibagikan saja pengalaman ini di blog. Semua memang harus selesai di diri sendiri dulu sebelum dibagi kepada orang di luar lingkaran persahabatan.
Saya memutuskan dari keluar dari zona “nyaman,” kerja dengan gaji terbesar dalam catatan pribadi, duduk di ruangan ber-ac, tinggal di tengah Jakarta. Nyaman versi orang lain. Tapi buat saya harus ada yang dikorbankan supaya saya tetap waras.
Mei lalu dokter minta supaya saya melupakan keinginan untuk punya anak, karena jika saya ngotot berkeinginan itu, akan memperbesar peluang saya kena kanker rahim. Saat ini, aman, justru itu yang dijaga. Saya harus meminum obat hormon yang menghentikan menstruasi, setiap hari, pukul sepuluh malam. Eh kenapa jam segitu? Waktu yang aman buat orang yang aktif macam saya. Sebelum pukul sepuluh bisa jadi masih ada di luar rumah, apalagi waktu di jakarta.
Anyhow, yang paling berat adalah proses menerima itu, menerima kenyataan bahwa saya tidak bisa punya anak. Kalau keinginan tidak punya anak itu datang dari keinginan sendiri, tidak akan jadi berat, tapi saya ingin. Iya betul, punya anak tidak harus dari kandungan sendiri…itu nanti saya juga paham. Tapi saat itu, sampai hampir bulan ke tiga ini, saya masih suka sedih tiba-tiba kalau ingat vonis itu. Saya juga sempet berpikir, apa saya calon ibu yang buruk sampai tidak diberi kepercayaan untuk punya keturunan? Semua yang buruk-buruk itu muncul di kepala dan bikin saya makin terpuruk.
Hal paling berat berikutnya adalah mendengarkan nasihat-nasihat yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan oleh siapa pun. Untuk seseorang yang secara mental sedang drop seperti saya, yang dibutuhkan hanyalah kuping yang mendengar dan bahu buat bersandar, mewek.
Bicara soal sedih. Berdasarkan literatur yang saya baca, obat hormon itu berdampak pada mood yang turun naik. Pada saya, sedih terus. Kesedihan, dan kesadaraan bahwa saya harus membenahi diri sendiri, saya izin untuk berhenti dari semua aktivitas kerja. Mundur untuk bersama akang, suami saya dan keluarga, terutama mami.
Di hari kedelapan belas ini, saya sudah tidak sedih lagi. Buktinya bisa nulis ini tanpa bercucuran airmata. Sejak minggu lalu tepatnya, saya alihkan sedih menjadi booster, doping apapun lah namanya untuk mempekerjakan otak saya lebih aktif supaya tidak ada waktu buat melamun dan mewek.
Apa saja yang saya lakukan?
- Ikut kegiatan yang melibatkan orang dan kelompok baru. Pergi ke Panti Asuhan (ini bikin mewek sih), mendengarkan cerita menarik dari Panti. Berkunjung ke lokasi baru, ngobrol sama kawankawan baru.
- Otak kiri saya harus dipaksa untuk terus menganalisa hal lain di luar penyakit ini. Jadi membaca sambil ditulis, dan diingat itu mengobati kesedihan
- Fokus membereskan administrasi kelompok Kait Nusantara. Dua minggu terakhir saya menyiapkan dokumen yang dibutuhkan agar kait segera diakui secara hukum. Mulai dari business plan, ad/art, sampai ke proposal. Apa saja, yang penting otaknya ga dibiarkan menganggur dan mengkhayal lalu kembali sedih
- Saya biarkan otak kanan saya berkreasi, dengan ide-ide baru, tanpa batas. Hasilnya dua ide proyek penulisan baru muncul
- Saya tibatiba aktif olahraga dan mengurusi rumah tangga, ya masak dan cuci pakaian. Waktu sibuk kemarin, jiah, mana kepikiran.
- Saya menulis apa saja yang ada di kepala, ga pakai disensor
- Bermain dan ngobrol panjang lebar ngalur ngidul dengan Septi dan Zi, dua ponakan saya yang jadi bagian penting dari proses trauma healing. Semua cinta saya alirkan kepada mereka.
Dibilang bed-rest ya tidak, mana bisa saya rebahan dan istirahat sementara kepala saya terus bekerja. Harus ditumpahkan. Kalau diam, saya malah kembali sedih.
Yang paling penting dari semua ini adalah punya pasangan yang pengertian dan sabar menghadapi saya yang sedang bermasalah, mentally break. Saya sedang berusaha bangkit, tertatih-tatih untuk kembali lari. Tapi paling tidak di hari kedelapan belas ini, saya sudah bisa berbagi. Saya beruntung punya akang yang selalu ada dan mendukung saya.
Buat kamu yang sedang membaca ini, suatu saat sahabat perempuanmu, atau pasanganmu sedang down, mental breakdown, jangan dinasehati kecuali diminta, apalagi menghakimi, izinkan dia untuk bicara apa saja yang ingin dia bebaskan dari kepalanya, dengarkan dan sediakan bahu untuknya bersandar. Kamu cukup bilang, i am here for you!
(pic by google, dreamstime.com)