Hanya karena kamu klik ‘like’ atau ‘petisi’ tidak berarti sebuah perubahan akan terjadi.
Selebrasi berlebihan dari netizen, warganet ketika sosial media seseolah membebaskan kita untuk berkuasa atas keputusan politik dan perilaku politik kita. Tapi politik yang berakar pada kekuasaan dan kuasa untuk melakukan perubahan tidak akan terjadi tanpa sebuah aksi. Sementara sosial media membuat kita bergaung di medan sendiri, dalam ruangan sendiri atau istilahnya the echo chamber..
Radikal berarti mewujudkan sebuah perubaha. Politik radikal artinya menggunakan kekuasaan untuk melakukan perubahan. Tapi sebuah perubahan hanya akan terjadi kalau setiap individu politik bersatu, merasa satu tujuan dan tergerak oleh masalah bersama tapi di dalamnya tetap saling menghargai perbedaan, mewakili semua perbedaan yang ada. Itu baru mewakili demokrasi.
Teknologi digital itu kan cuma alat yang digunakan untuk menyampaikan aspirasi. Pada akhirnya teknologi itu tergantung pada pemiliknya, siapa berkata apa untuk kepentingan apa. Mereka yang tidak tertampung aspirasinya dalam media massa, maka sosial media menjadi ruang untuk meluapkan emosi. Berpolitik itu memang pakai rasa ada rasa marah atas ketidakadilan, passion untuk melakukan perubahan, menyuarakan uneg-uneg
Berada di zaman digital ini seperti membuat kita harus lebih kritis menilai ‘kebebasan’ yang maya. Dengan menyuarakan aspirasi tanpa aksi hanya menjadi sia-sia. Sebesar-besarnya apresiasi pada aksi yang digalang lewat sosial media, tetap harus disertai dengan pertanyaan, what now? Then what… social media membuat berita dan informasi meluas dan cepat, terus kenapa?, social media memenuhi asas pluralisme karena jangkaungannya, tapi coba pikir lagi, di timeline kita siapa aja sih? Apakah teman-teman sepandangan atau yang sama?…. nah berbeda dengan aksi yang dilakukan oleh sebuah organisasi – jelas siapa yang memimpin, jelas yang dituju dan disepakti, nilai-nilai yang ingin diubah dan kepada siapa aksi ditujukan, maka aksi yang digalang lewat sosial media menjadi begitu lepas, tanpa koordinasi, tanpa arah. Dalam sebuah aksi, harus jelas kepada siapa tuntutan ditujukan, who has the power? What kind of power do they have? Can they exercise the power and make a different?
Buku yang ditulis Natalie Fenton, dosen di Political Communication di Goldsmiths, UoL berjudul Digital Political Radical ini pas banget untuk dibaca oleh para aktivitis politik dan komunikasi. Fenton mengajak kita untuk lebih kritis membaca tren digital yang setiap saat berubah. Menganalisa data dan informasi dengan terus berikan challenge sampai kita yakin pada apa yang kita lakukan. Politik itu bukan barang mati, tapi dia harus ditantang terus menerus, menjaga demokrasi agar tetap pluralis, menampung aspirasi yang berbeda.
Diantara banyak dosen yang bagus, Fenton mampu membuat saya terjaga dan aktif di kelas meski dimulai dari jam 8 pagi dan baru selesai jam 2 siang. Bukunya ditulis persis seperti saat dia berada di depan kelas, tidak ada judgemental terhadap siapapun, straightforward, dan jujur, ga berbunga-bunga.