Kita Pernah Muda, Sayang Kita Sering Lupa

Standar

Dilan masih penuh penonton, karena anak-anak yang besar di tahun 90an merasa bernostalgia. Pernah konyol, pernah gombal, pernah tawuran, benjol, luka, bermalam di pos polisi, pernah meringkuk ketakutan kena lemparan batu. Sebagian itu saya juga ingat, tapi bagian punya kekasih di masa ingusan, saya tak bisa berelasi. Sesuai kontrak politik dengan papi, selama masih pengen kuliah, jangan pernah pacaran, atau berhenti dan nikah sekalian. Karena papi ga pengen investasinya sia-sia, putus di tengah jalan karena bunting. Ketakutan berlebihan, tapi saya berterima kasih untuk itu.

Tapi ketika Zaadit mengeluarkan kartu kuning kepada Presiden Jokowi, generasi 90-an seolah merasa jijik. Mengata-ngatainya sebagai mahasiwa tolol, ga baca buku, penyebar pahan jonruism. Dosanya seolah berlebih karena media menyebutnya partisan PKS. Membandingkan aksinya dengan aksi heroic mereka melawan Soeharto di 98, tumpukan bacaan buku politiknya, diskusi-diskusi debat kusir di pojokan kampus dan malam-malam penuh aksi.

Sebelum saya nyerocos lebih jauh, saya harus menyatakan bahwa saya bukan kader partai mana pun, bukan pendukung siapa pun, tidak berafiliasi dengan siapa pun. Saya cuma warga Indonesia yang merasa punya hak untuk mengeluarkan pendapat di blog saya pribadi, kegundahan saya di masa penuh orang baper. Saya mengapresiasi kerja Presiden dan saya tahu Pak de adalah orang yang santai kayak di pantai, tapi saya berdiri untuk mengkritisi Pak De agar ketidakadilan bisa diminimalisir. Saya gemas sama pendukung Pak De yang membabibuta membela Pak De dan gagal melihat hal yang lebih besar. Oh iya, saya peminum kopi hitam tanpa gula… sambil nyeruput, ini lah kegundahan saya.

Beberapa waktu lalu saya menulis tentang suara anak muda jangan cuma ditambang menjelang pemilu. Anak muda jangan cuma diimingi bakal bisa melakukan perubahan dengan masuk partai lalu mereka jadi kambing congek ketika pembagian kekuasan. Semua partai berlomba-lomba menggaet anak muda, tapi harus diakui PKS lebih maju dalam kaderisasi, tentu saja lewat identitas keagamaan, kelompok-kelompok kajian islam di kampung, masjid, dimana pun anak muda berkumpul. Partai lain, gagal! Bahkan masih megap-megap mengejar ketinggalan ini. Kaderisasi mereka terlambat belasan langkah dari PKS. Maka ketika Zaadit dikait-kaitkan dengan PKS, ya biasa aja. Mereka di UI dan IPB mereka giat menggaet kader, kalian kemana aja selama ini?

Lalu kalau sudah bergerak aktif dalam sebuah organisasi politik, tidak boleh kritis?

Setiap orang menjadi kritis tentu saja dipengaruhi oleh culture capital di belakangnya, Pendidikan yang dia dapat di keluarga, pergaulan dan sekolah atau institusi dimana dia bergabung. Tidak ada yang bebas nilai. Rada aneh kalau ngenye tindakan Zaadit karena partisan PKS, lah terus kenapa? Kalau dia ternyata kadernya Demokrat, boleh? Atau PDIP, atau PAN, atau Golkar, boleh? Ya boleh lah. Kritik ya kritik, itu hak politik seseorang yang dilindungi oleh hukum.

Zaadit, mahasiswa. Susah jadi mahasiswa saat ini, diam aja ditanyain, ngapain aja. mahasiswa, bersikap, dianggap cari panggung. Kampus memang tempatnya belajar dinamika politik. Berbeda pendapat, bersikap anarkis sekalipun, ini memang tempatnya belajar. Semua juga berproses. Berapa banyak dari kita yang pernah turun di 98 itu benar-benar memahami perjuangan, membaca Marx, membaca Che Guevara, membaca Soekarno Penyambung Lidah Rakyat. Saya, termasuk penggembira saat itu. Saya tahu Soeharto ga beres, tapi merelasi Soeharto dengan semua teori politik itu, saya pelajari belakangan. Jujur saja.

Kamu generasi tua, kalian juga berproses, ga ujug-ujug menjadi bijak seperti hari ini. Kamu pernah ngegele di balik semak, pernah tukar kancing jaket di DPR, pernah nakal, pernah goblok, dan pernah naif. Kebayang ga sik, generasi pecinta orde baru pernah ngenye nya ke kamu, persis seperti kamu ngenye pada Zaadit.

Kartu Kuning itu symbol. Air hujan ga pernah jatuh jauh dari talangnya. Kita memang hidup di zaman politik penuh symbol. Islam Nusantara, disimbolkan dengan peci dan sarung. Papua aman, disimbolkan dengan naik motor di transpapua. Indonesia pemberani, disimbolkan dengan kunjungan presiden ke Afghanistan, Ananda Sukarlan walk out… itu kan symbol. Terus apa anehnya dengan kartu kuning zaadit?

Saya tidak sedang membela Zaadit sebagai pribadi, saya sedang mengetuk kembali kewarasanmu kawan. Berbeda pendapat, mengeluarkan kritik adalah dinamika demokrasi. Salah besar jika demokrasi berkembang homogen! Demokrasi adalah tentang representasi, tentang pluralisme dan partisipasi.

Saya sedang mengajak anak muda dan mahasiswa untuk tidak kemudian takut berpendapat setelah ini. Tetaplah kritis, lanjutkan diskusi-diskusi di pojok-pojok kampus, sementara tugas yang membludak, jangan lupa tetap membaca banyak-banyak apa pun diluar perintah dosen.

Tentang aksi nyata anak muda kawan… barangkali mereka lebih banyak beraksi daripada kita-kita yang tua dan termakan kebutuhan dapur dan kasur. Silakan tengok startup, aksi kerelawanan anak-anak muda di desa. Kamu hanya harus berhenti sejenak dari aktivitas klik mu di sosial media dan turunlah bersama mereka.

Tabik, saya harus kembali mengerjakan laporan dan menghabiskan kopi

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s