Saya bekerja sejak masih kuliah, mulai jadi surveyor lapangan yang digaji perlembar kuesioner 1998, lanjut jadi penyiar yang sampai jontor cuma mentok dibayar 25K / jam, lalu jadi reporter lapangan bersama KBR, disambi siaran di Radio Utan Kayu yang beralih jadi Green Radio, lalu ke Ashoka, NGO internasional sampai hari ini di Akuo Energy.
Sampai hari ini, saya masih sering terima ‘nyirnyiran,’ ‘LSM banget sih lu.’ Biasanya sih saya garuk-garuk kepala, perasaaan cuma sekali kerja di LSM, itu di Ashoka, selebihnya di swasta. Terus kalau di LSM emang kenapa? apa yang salah sama LSM? Dia sih bilang, lu sok idealis, itu kan LSM banget. Terus saya ngakak, lah kalau di swasta emang ga boleh idealis? Kalau idealismenya uang, juga kan sah-sah saja, pilihan hidup orang toh.
Bekerja di dua dunia yang kadang-kadang bersebrangan ini memang seru. Saya belajar banyak untuk disiplin soal manajemen waktu, dokumen, sampai keuangan di swasta. Suatu hari, saya berantem dengan vendor yang, gagal menyetorkan bukti transaksi pembelian paku senilai 500K, dia bilang, ‘busyet deh Nita, 500K doang.’ Kata saya,’kaga pake doang! Ini duit orang, situ harus tanggungjawab kalau pake.’
Di swasta, saya belajar untuk disiplin soal waktu, seperti saat bekerja di radio, yang hitungannya detik. Kalau kita lupa mutar iklan 30 detik saja, itu nilainya sudah ratusan ribu. Tanggungjawabnya berat memang. Taking note, rapi dalam dokumentasi kegiatan dan keuangan, itu jadi pelajaran penting. Tapi yang berat untuk saya bertahan di swasta ya memang profit orientednya. Wajarlah, namanya juga swasta, ini kan semata-mata pilihan. Terima kasih untuk ilmunya selama ini.
Di Lembaga non-profit, mari jujur jujuran. Kita ini paling lemah di soal pelaporan. Bikin proposalnya aja kenceng kayak ferari, giliran disuruh bikin laporan, apalagi keuangan, kita megapmegap macam bajaj kuning. Program di lapangan lebih banyak melencengnya daripada perencanaan. Galak duluan aja, tapi lupa intropeksi diri, bahwa operasional itu bukan duit kita, tapi duit donor yang harus dilaporkan secara jujur, dan transparan. Ada tenggat waktu yang harus dipatuhi karena sudah disepakati sejak teken kontrak kerjasama proyek. Teman-teman non-profit yang juga saya kenal di lapangan, lemah di soal administrasi dan manajemen, pokoknya lari-larian di lapangan mah jago, giliran suruh duduk manis depan laptop bikin laporan, ya allah, mukanya bersungut-sungut nggak asik. Saya ini orang lapangan! Selalu gitu alasannya, lah situ ke lapangan kan pake duit kakak, laporannya mana?
Kawan-kawan di non-profit juga suka lupa kalau tidak selamanya donor tersedia untuk kerja-kerja baik di masyarakat. Saking semangatnya menghabiskan donor, lupa kalau besok kegiatan masih harus jalan, lupa kalau ada masyarakat yang masih menaruh harapan penuh pada kita. Sebagian besar non-profit kecil terpaksa tutup, teman-teman menganggur karena menunggu nasib diserap Lembaga lain yang masih punya dana.
Sebagian yang sudah pandai berbisnis sosial, kadang-kadang sok sial. Menjadi kapitalis-kapitalis kecil berlabel hijau. Memberdaya di awal, lalu memperdaya di tengah jalan.
Saya ini lumut, dimana pun menempel bisa hidup. Di swasta, saya berharap idealisme dan empathy bisa menular. Di Lembaga non-profit, saya berharap profesionalisme bisa dibangun. Di bisnis sosial, oh kawan, mari pagari diri dengan niat awal, jangan lelap karena keuntungan mini.
Dan saat ini saya berada di swasta rasa lsm, aih seru😊