Belajar bisnis sosial, belajar berterimakasih

Standar

Ini bukan postingan motivasi, camkan itu dulu. Saya sedang belajar bagaimana menjadi seorang wirausaha sosial. Bekerja di lapangan sebagai community development, does not mean, saya pribadi memiliki usaha yang mapan. Pernah bekerja di sebuah asosiasi wirausaha sosial pun bukan berarti saya sukes mengaplikasi semua yang kami pelajari di kantor. Saya masih belajar.

Marketing bukan hal baru yang pasti. Empat tahun pegang markom green radio, fundraising buat Ashoka, di akuo menjalani community development, saya belajar marketing dari nol. Tapi menjadi marketing dalam sebuah Lembaga, saya merasa diamankan dengan gaji bulanan, asuransi. Pun kalau gagal dapat klien, saya ga sertamerta dipecat. Begitulah.

Tapi memulai semuanya sendirian itu bukan perkara mudah. Saya pernah menginisiasi MyJunx, yang tadinya diniatkan menjadi bisnis sosial, tapi karena saya breadwinner di dalam keluarga, mimpi itu tertunda lagi. Saya ngamen lagi sana-sini.

Hari ini saya belajar lagi kepada teman yang memang mendampingi bisnis sosial, terutama anak-anak muda supaya bisnis mereka bisa berlanjut. Yang pertama dia bilang, sebelum terjun ke bisnis sosial, kamu harus menghitung dulu berapa besar kebutuhan pribadimu setiap bulan yang harus kamu penuhi? Karena terjun ke sosial bisnis sudah pasti tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhanmu, mungkin setelah 5 tahun. Artinya, siap-siap tidak digaji, tidak ada keuntungan. Bohong lah kalau ada yang bilang, saya memulai segalanya dari nol! Ya ga nol besar. Mereka punya tabungan yang cukup, mereka punya keluarga yang bisa mendukung kebutuhannya, punya suami atau isteri yang mapan, secure secara finansial dan punya nama besar yang ‘digadang’ bapaknya siapa atau ibunya siapa gitu. Kalau selama ini kamu yang jadi tulang punggung keluarga, maka kamu harus bisa siasati misalnya dengan kerja paruh waktu. Secara financial ‘secure’ secara waktu lebih bisa diatur untuk mengerjakan sosial  bisnismu.

Ini karena yang sedang dibahas adalah bisnis sosial. Kalau mau hidup dari semata-mata keuntungan, itu bisnis murni, tapi berbagi ‘keuntungan’ dengan masyarakat dan impactnya buat menyelesaikan masalah sosial, itulah bisnis sosial yang dimaksud. Siap sengsara dulu, enough to support you, tapi bukan bunuh diri dengan sok idealis.

Di buku-buku motivasi bisnis, yang ditonjolkan adalah kemampuan pribadi untuk jatuh 7 kali lalu bangkit 8 kali, you and only you! adakah motivator dan buku-buku motivasi yang menyarankan kita untuk banyak-banyak terima kasih pada mereka yang selama ini menjadi cheerleaders dalam hidup kita?

Secara bapak bukan orang beken, ibu juga orang biasa, tidak ada high profile yang bisa support untuk digadang. Tapi saya percaya pada lingkaran pertemanan yang selama ini dijalin. Kalau saya sedang ngamen, yang lain ikut dalam tim, kalau saya bosan ngamen, yang lain harus ambil peran. Tapi kali ini, saya ingin bisa menaklukan waktu, meneruskan pekerjaan yang sudah dilakukan 8 bulan terakhir ini. Saya terlanjur jatuh cinta pada tempat, alam dan manusia di dalamnya. Pekerjaan belum selesai, tapi mengharapkan dari donasi dan donor semata, bakal susah untuk berlanjut.

Mari belajar bisnis lagi… hup hup hup….

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s