Harus ada disclaimer di awal tulisan, bahwa saya bukan ekonom, pengamat ekonom, atau jurnalis deks ekonomi. Dulu ketika masih jadi jurnalis, siksaan terberat buat saya adalah ketika waktunya ditaruh di isu ekonomi. Saya pasti telpon coordinator liputan, misu-misu minta dipindah. I have no clue of economic issue. Jadi review ini berdasarkan kedekatan saya dengan buku dan dari pandangan saya sebagai orang awam, eh, paling ga ini ditulis dari sisi politik ekonomi. That’s it…
Sejak kuliah di London, mulailah terasa, bahwa keindahan eropa yang terlihat dari rumah saya di Indonesia, itu seperti ‘palsu’. Mereka sama ‘susah’ nya dengan kita di sini. Hanya saja nilai mata uang mereka lebih tinggi dari kita, jadi dengan 1euro atau 1 poundsterling, bisa beli bakwan sama gerobaknya. Di eropa, pemangkasan anggaran untuk kepentingan umum itu nyata, harga rumah melambung, kebutuhan sehari-hari tinggi, dana pension, pendidkan dan kesehatan dipangkas, lapangan pekerjaan berkurang karena pabrik-pabrik ditutup dan dialihkan ke cina karena biaya produksi rendah.
Di bangku kuliah, kebetulan Goldsmiths UoL berhaluan kiri, seringkali diwanti kalau Inggris dan Eropa berada dalam krisis ekonomi. Tinggal pengumuman, pengakuan resmi saja untuk bilang ‘ ya kita sedang krisis’. Hampir dalam banyak diskusi, kesimpulannya adalah sistem bank sentral yang salah. Mengandalkan perbankan dalam pembangunan ekonomi seperti sebuah boomerang yang sedang balik menyerang.
Yanis Varoufakis menjadi orang yang paling sering disebut-sebut sebagai tokoh perlawanan terhadap sistem bank sentral dan uni eropa. Saat menjabat sebagai Menteri Keuangan Yunani 2015, selama lima bulan dia bernegosiasi dengan Uni Eropa untuk penghapusan utang Yunani supaya negara itu bisa memulai dari awal untuk memperbaiki ekonominya. Di buku berjudul ‘And The Weak Suffer What They Must?’, dia menceritakan perjalanan karirnya sebagai ekonom yang kemudian ditunjuk sebagai Menteri Keuangan, seperti kudu membuktikan apa yang selama ini dia ajarkan di kelar. Membantu negaranya keluar dari krisis ekonomi. Buku ini bercerita tentang sejarah dimulai dari perang dunia pertama dan kedua, dimana Amerika bersedia untuk menghapus hutang Jerman dan Inggris demi misi dolarisasi di eropa. Atas inisiatif Jerman dan Perancis, ide tahun 1950-an 1960an untuk menyatuhkan eropa dengan menghadang dolarisasi kemudian terwujud. Jadinya eurosisasi di daratan eropa barat. Negara lemah seperti Italia, Spanyol, Irlandia, Islandia, dan Yunani, dibuat bergantung pada uni eropa untuk suntikan dana / hutang untuk mendongkrak ekonomi mereka. Kalau salah satu dari negara lemah ini terpuruk, hutang baru disuntikan banyak-banyak, tapi dengan syarat yang cukup berat, austerity, memotong pengeluaran negara untuk kepentingan public, seperti Pendidikan dan kesehatan, karena dianggap membenani anggaran nasional negara itu. Yanis, menolak! Hasil lima bulan bernegosiasi dengan Eurogroup, adalah penolakannya untuk memangkas dana pension, kesehatan dan Pendidikan di negaranya, Yunani.
246 halaman buat saya yang tidak tertarik membahas ekonomi tentu menjadi sangat berat. Buku ini sempat diselingi 2 buku fiksi sebanyak 1200 halaman in total. Kening berkerut karena saya harus bisa memahami konteksnya. Tapi kalau saya memutar angle pemahaman dengan melihatnya dari sisi politik, buku ini jadi sangat menarik.
Apa yang membuat Eropa mau bergabung dalam Uni Eropa? Setiap negara punya kedaulatan sendiri, punya sejarahnya sendiri, dan kepentingan kelompok. Kenapa mereka mau menyerahkan kedaulatan itu untuk kepentingan ekonomi ‘bersama’? Setiap negara ‘harus’ menyerahkan RAPBN negaranya kepada parlemen uni eropa di Brussel untuk direview, yang somehow, mereka punya hak untuk mengintervensi kebijakan ekonomi nasional anggotanya.
Di halaman 201, Younis menuliskan hal yang membuat saya gemetar.
‘However, a united Europe based on free trade, free capital movements, common labour laws and a single currency is unfortunately as compatible with a Nazi agenda as it is with a progressive, humanist, internationalist one.’
Uni Eropa adalah cita-cita yang pernah dipunya Nazi, hanya dalam bentuk yang lebih baik. Buku ini juga menjelaskan dampak negative dari persatuan eropa yang memunculkan sikap ultra nasionalis, neo-nazi dan rasisme. Ketakutan kaum ‘pribumi’ akan ancaman kaum imigran yang merebut hak mereka atas ekonomi. Satu persatu yang Varoufakis ceritakan dalam buku ini menjadi kebetulan yang nyata… ‘history repeat itself’ katanya.
Jika diteruskan ada tiga hal yang akan terjadi:
- Tidak ada bangsa eropa yang bebas selama demokrasi negara lain dilanggar
- Tidak ada negara eropa yang berdaulat selama negara lain menyangkal kedaulatan itu
- Tidak ada negara eropa yang bisa berharap untuk maju dan sejahtera jika yang lain terus mendesak yang lemah pada situasi depresi.
Varoufakis mengusulkan untuk pembubaran Uni Eropa, karena apa pun yang terjadi di benua ini bakal berpengaruh pada perekonomian Amerika dan dunia, mengganggu stabilitas ekonomi di Jepang dan Cina. Pertaruhannya terlalu besar jika diteruskan.
‘I think we can pull it off. But Not without a break from Europe’s past and a large democratic stimulus that the fathers of the European Union might have disapproved of.’
Aih leganya bisa menyelesaikan buku yang satu ini 😛