Teramat pagi saya bangun hari ini, perkara hotel tempat menginap dindingnya terlalu tipis, jadilah saya mendengar semua yang terjadi di luar kamar. Lalu hasil selancar membunuh pagi menemukan sebuah artikel di Vice tentang generasi milineal yang bakal homeless atau tuna wisma dalam beberapa tahun ke depan. Di artikel tersebut disebut minimal generasi millennial harus punya gaji bulanan sekitar 9,5 juta rupiah, untuk kota Jakarta yang UMR 3.35 juta rupiah. Saya tersentuh secara pribadi, mengingat baru pekan ini berhasil menyelamatkan rumah yang saya cicil sudah 7 dari 15 tahun kredit dari proses lelang. Lagi-lagi saya merasa beruntung, semesta masih mempercayakan rumah itu sebagai rezeki saya. Biasanya tunggakan 3 bulan saja, rumah sudah masuk proses lelang. Saya menunggak 12 bulan karena tak sanggup mencicil dengan uang beasiswa selama di London. Ada harga tinggi untuk sebuah cita-cita, tapi semua itu berharga 😉
Saya mulai dengan cerita tentang gaji ideal 9.5 juta rupiah. Begini kakak. Sepanjang saya berkarir sebagai jurnalis dan juga pekerja social, gaji saya tertinggi saat bekerja kantoran antara tahun 2002-2015, paling tinggi adalah 8 juta rupiah. Anak sok idealis kalau kata kawan, makan tuh idealisme, selamanya miskin. Wah sering banget kata-kata itu muncul dari kawan-kawan yang sudah duduk di atas mobil mewah dan rumah bertingkatnya. Mengutip istilah kawan, keringat mereka yang mengkristal itu harganya tinggi. Sedang keringat saya, ya hanya menghasilkan bulir bulir nasi di rice cooker hahaha, edisi lebay.
Passion (biar keren) saya, dan banyak kawan-kawan yang bergerak di dunia yang sama, LSM dan Media Massa kadang dimanfaatkan oleh ‘Kapitalis Hijau’ atau Green Capitalist. Darimana tahunya? Pernah mencoba lihat jurang gaji yang besar dalam satu organisasi yang berlabel sosial? Di lembaga saya bekerja dulu, struktur organisasi di atas saya adalah langsung Direktur Utama. Gaji direktur saya ketika itu, 20 juta rupiah. Gaji saya 8 juta rupiah. Voila!! Di sebuah media di Indonesia, jadi produser atau editor dapat 10 juta, gaji produser eksekutif nya 25 juta rupiah. Seorang konsultan untuk lembaga social bisa bergaji 20 jutaan, tapi relawannya di lapangan bisa jadi cuma dikasih salamanan… kan relawan…
Ini ironi sebuah organisasi yang selalu berlindung pada label yayasan dan media massa juga bertameng pada kata ‘ini media, mana ada wartawan kaya’… cuk! Yang miskin memang jurnalis lapangannya yang kalau kata eci, upilnya jadi hitam karena kebanyakan di ojek kejar berita. Tapi hanya tiga level di atas mereka bisa turun naik mobil pribadi… menurut ngana? Atau yang selalu bilang, DONOR nya sepi, tapi direkturnya masih bisa bermewahmewah bikin acara di hotel dan minum kopi di café.
Generasi Millenial yang belum mencapai usia 40an ini adalah korban-korban jargon ‘follow your Passion to find your happiness,’ Mereka yang bekerja mengikuti passion-nya, tentu saja dengan ‘senang hati’ dibudaki, karena idealisme nya melintasi realitas kebutuhan perut, pakaian dan tempat bernaung alias rumah.
Setelah sadar ga mungkin bisa beli rumah karena harganya terus tinggi, millienal yang tengil jadi korban jargon berikutnya, ‘home is the world’, ‘travel yourself to find true happiness.’ Pret lah! Ngana pikir biaya perjalanan dibayar pake daun? Lalu pakai kartu kredit dengan tawaran menarik untuk jalan-jalan kemanapun. Menurut saya, piknik ga harus ngabisin duit! Menghargai hal sekecil makanan di atas piringmu saat ini, sudah cukup untuk disebut piknik. Ngobrol dengan orang asing di sebelahmu dalam bus saat ini, adalah piknik. Belajar sesuatu yang baru setiap saat, berteman dengan orang baru setiap hari, adalah piknik. Taik kucing tentang piknik yang setiap kali kamu pulang, sibuk berhitung hutang atau sisa tabungan.
Sepanjang hidup, saya dan keluarga adalah orang kontrakan. Pindah satu rumah ke rumah lain, dari satu kamar ke kamar lain. Suatu saat saya ingin pulang ke rumah sendiri, yang saya bangun dari hasil keringat sendiri, tak perlu senilai kristal szaworski *halah susah ejaannya, cukuplah tempat saya berteduh. Selama bekerja saya sudah merasakan perjalanan sana sini, tiga kali makan di tiga tempat berbeda dalam satu hari, narik turun pesawat sudah seperti saat pilek, ingus turun naik. Setiap perjalanan memberi arti lebih dari sekedar foto di Instagram dan di facebook. tapi suatu hari, perjalanan fisik itu harus berhenti. Saya memulai petualangan dari sebagai anak kecil dari kampong kumuh di sudut Jakarta dengan membaca, bermimpi bagaimana rasanya duduk di atas pesawat, bobok di hotel mewah dan melihat pemandangan bawah laut. Saya ingin mengakhirinya dengan duduk nyaman di rumah sendiri, menulis kembali semua perjalanan ini dan membaginya dengan gadis cilik di mana pun mereka berada, bahwa mereka bisa bermimpi setinggi langit tanpa ragu untuk mewujudkannya.
Kamu, setiap perjalanan akan terhenti, dimana kamu akan berada saat itu? Jangan tinggalkan passionmu, tapi jangan lupakan juga masa depanmu. and being idealist is not necessary to make yourself suffer 🙂