Lelaki itu menemukan perempuan itu sedang berbisik pada anak magang di depan ‘Vending Machine’ atau mesin otomatis pembuat kopi. Jarinya seperti main kung fu, pencet sana dan sini dengan kecepatan di luar kebiasaan. Lalu mereka tertawa-tawa.
‘Jangan bilang kamu beritahu rahasia kita soal mesin itu?’ tuduh lelaki itu pada perempuan yang kembali ke mejanya dengan cangkir kertas dari mesin itu.
‘Ini kopi paling busuk yang pernah aku minum, tapi berhubung akhir bulan dan beasiswa kita belum turun. Apa boleh buat? Bukan cuma rasanya yang busuk. Tapi mesin itu bikin aku merasa bersalah, berapa banyak cangkir kertas yang terbuang. Ini kan bukan benar-benar kertas, ada lapisan plastic di dalamnya.’ Perempuan itu tidak menjawab pertanyaan lelaki itu, dia duduk dan bicara tanpa melepaskan pandangan dari cangkir kertasnya.
Dihirupnya dalam-dalam cangkir itu dan disingkirkan dari pandangannya.
‘Kalau kau tak minum, kesalahanmu bertambah. Pertama, kertas kau buang, kedua, kopi yang sudah melalui proses panjang dari menanam, memanen, roasting, giling sampai jadi secangkir kopi. Ketiga kau buang uangmu.’
‘aaaarrrrgggh, okay, aku minum!’ dalam sekali tenggak, kopi itu meluncur di tenggorokannya yang dilapisi kulit sawo matang tipis. Tak tipis tentu saja untuk melihat aliran kopi itu menghilang ke pencernaannya.
‘Eh tapi ya, aku enggak buang uang kok. Kan aku sudah bisa ambil gratisan dari mesin itu?’
‘Jadi bener, kamu ajari anak itu rahasia kita dapat kopi gratisan di mesin itu?’
‘Iya lah. Dude, kita ini budak budak modern bernama Unpaid Internship- magang tanpa bayaran, mahasiswa miskin yang bertahan hidup dengan beasiswa. Kalau cuma secangkir kopi seharga 20 pence aka 3400 rupiah doang, tidak akan bikin si pengusaha bangkrut kali.’
‘Mencuri ya mencuri, tidak ada pembenaran untuk itu.’
‘Ada!’
‘Dasar kiri’
‘Dasar kanan’
Sebelum perempuan itu bercerita, baiknya aku sebagai penulis memberikan nama pada dua tokoh kita dalam cerita kopi ini. Perempuan itu bernama Nada dan lelaki itu bersama Mika, kependekan nama dari Mikail. Dua mahasiswa dari dunia ketiga yang sampai di London dengan beasiswa. Saban kali Nada merasa sebagai the lucky bastard atau orang sialan yang beruntung dapat beasiswa, Mika selalu bilang,’No, we deserve to be here. Seleksinya ketat dan kita lolos, artinya kita memang berhak tinggal di sini.’
‘Kita ini bagian dari orang-orang yang munafik tahu tidak. Bicara tentang kemiskinan, perbudakan, lingkungan, di atas meja kafe jaringan internasional dengan harga kopi yang melebihi pendapatan petani kopinya sendiri.’ Nada mengeluarkan termos kopinya.
‘Tapi kita kan sebenarnya tidak ke sana untuk minum kopi yang bukan kopi. Kalau kamu bilang kopi 20 pence itu busuk, bayangin keselnya aku saban kali kita minum kopi di kafe itu yang harganya 2.30 poundsterling berisi foam. Kita memang tidak membeli kopinya, tapi membeli jaringan internetnya yang lancar, kenyamanan tempat supaya kita bisa bicara sepuasnya. Diskusi ilmiah tak harus terjadi di kampus, tapi bisa di kafe-kafe. Di kedai-kedai kopi itu demokrasi didiskusikan, direncanakan, revolusi dijalankan.’
‘Democracy is overrated.’
‘House of Card.’
‘Yup, padahal kau tidak pernah nonton filmnya.’
‘Hah!’
‘What?!’
‘Sok tahu!’
‘Bukannya hidup ini emang bermodal sok tahu. Kita membaca lalu menerjemahkan sesuka hati untuk kepentingan sendiri. Intepretasi kitab suci, yurisprudensi undang-undang. Kita kan tidak perlu memanggil arwah Karl Marx untuk tahu apakah terjemahan si A itu sudah sesuai dengan apa yang ingin dia sampaikan? Sok tahu aja lah. Dengan titel master, orang akan percaya bahwa isi kepalamu lebih banyak dari mereka yang tidak sekolah… padahal kan belum tentu toh.’
‘Kiri!’
‘Ini bukan soal kiri bro. Ini soal fakta. Orang bisa menjual nilai, dogma, agama, untuk perutnya sendiri. Sekarang aku lanjut cerita kemarin ya.’
Aku lupa mencatat nama lengkap Kaisar Jerman, Frederik something itu. Kemarin kita sepakat kan bahwa langkah Frederik untuk tetap mendapatkan income buat negaranya itu bagus, tapi ternyata kita salah Mika. Setelah hanya memperbolehkan kedai kopi menggunakan mesin penggiling dan pembuat kopi sampai cangkir keramik buat Jerman, harga produksi malah tinggi. Kemudian kopi diperlakukan seperti barang mewah yang hanya sanggup dinikmati oleh kalangan bangsawan. Kedai-kedai kopi jalanan tutup. Lebih dari itu, Kerajaan menyewa bekas tentara perang yang kehilangan anggota tubuh dan tidak bisa kembali ke medan perang, sebagai sniffer, bukan sniper ya, tapi sniffer, pencium bau aroma kopi. Mereka yang ketahuan meroasting kopi di dalam rumah akan dihukum denda.
‘What?! That’s ridiculous!’
‘It was indeed.’
Sayangnya aku tidak menangkap cerita bagaimana kopi akhirnya bisa kembali jadi minuman milik semua kelas di Jerman, sebagaimana di negeri asal di jazirah Arab. Berbeda dengan wine yang mahal dan jadi penanda kelas, kopi selalu jadi minuman tanpa kelas, tanpa kelamin. Kedai-kedai kopi di Turki dan Mesir dilengkapi dengan kegiatan berkesenian, seperti menyanyi, puisi dan berdansa. Sesuatu yang sering bikin Muslim garis keras gatal-gatal. Kopi bergeser fungsinya dari teman aktivitas relijius atau keagamaan menjadi teman berkegiatan secular.
Di Eropa, seperti juga sekarang, di kedai-kedai kopi, perjuangan, demokrasi, revolusi dirancang. Perancis punya termin khusus untuk ini, The House of Liberty, rumah kebebasan untuk kedai kopi. Di sini orang bebas membicarakan apa saja.
‘Betulkan kata ku. Kopi membuat kita semangat membicarakan tentang banyak hal’
‘Iya, tapi kan bukan kedai kopi yang satu itu. Kita datang untuk internetnya.’
Kemarin seorang teman bertanya, kalau aku datang ke kedai kopi bersama teman-teman, apakah fungsi kopi masih bisa disebut sebagai obat? Aku menjawab, tentu saja, kopi itu obat hati.
‘Ha ha ha. Seriously? Obat hati?’
‘Loh, iya. Secangkir kopi bersama seorang sahabat adalah obat anti-stress terbaik dalam hidup.’
Mika menyambutnya dengan senyum. Iyalah, siapa lagi yang dimaksud Nada selain dirinya
‘Ge-er. Temanku bukan cuma kamu.’
‘Yeah I know. Mulai dari resepsionis gedung utama, satpam di perpustakaan sampai teler bank semua kenal kamu.’
‘Tapi kan aku minum kopinya sama kamu.’
Anyway, aku lanjut ceritanya.
Tentang kopi di Jerman, Perancis dan Inggris sudah. Nah ada cerita menarik dari Vienna Austria. Jadi tahun 1700-an, Kesultanan Turki menyerbu Austria, tapi pada suatu kali mereka kalah dan meninggalkan ribuan tenda, ratusan onta dan ratusan karung goni berisi bijih kopi. Tidak ada yang mau mengambil karung itu kecuali satu orang bernama Kolshitzky. Dia salah satu petualang eropa yang pernah mencicipi kopi Turki sebelumnya, dan belajar bagaimana orang Turki menyajikan kopi.
Setelah itu dia mencoba membuat kopi, dan menjualnya dari rumah ke rumah pakai sepeda. Laku. Tapi dia tak cukup modal untuk membuat sebuah kedai. Dengan alasan sebagai pahlawan perang dan penemu minuman kopi pertama di Vienna, dia menuntut hadiah dari Kerajaan Austria. Tuntutan itu dipenuhi, jadilah dia pembuat kedai kopi pertama di Vienna dan dirinya diabadikan dalam bentuk patung.
‘Wow, segitunya ya.’
‘Iya. Padahal dia juga bukan penemu, penerus iya. Wong resepnya juga dia pelajari dari Turki. Sebentar..’
Nada memeriksa notifikasi di telepon genggamnya. Mika juga, ini kesempatan untuk memeriksa pesan yang masuk. Dia menunggu konfirmasi dari dokter spesialis syaraf untuk memeriksa sakitnya.
‘Ini menarik. Kata temanku, di Padang, Sumatera Barat, ada yang namanya Kedai Kawa. Itu daun kopi yang diseduh. Ceritanya di zaman penjajahan Belada, petani kopi tidak pernah merasakan kopi tanamannya karena semua dibawa Belanda untuk dijual di Eropa. Mereka akhirnya menyeduh daun kopi, jadi seperti teh, hanya saja wanginya kopi.’
‘Sedih. Menurutmu hal itu masih terjadi sekarang tidak sih?’
‘Menurutku masih. Gini deh. Kawanku pernah punya kedai kopi di Jakarta. Dia bilang modal percangkir kopi sebut saja 8000 rupiah, ditambahi dengan biaya listrik, air, lalu gula, susu, pelayanan, kemasan jatuhnya 35.000 rupiah sebagai harga jual. Sebenarnya berapa yang diterima petani kopi? Karena perjalanan kopi ini kan panjang. Ada proses menjadi Green Bean, lalu roasting sampai digiling menjadi bubuk.’
‘Kopimu di termos itu darimana?’
‘Ini Kopi Aroma dari Bandung. Aku sudah siapkan satu bungkus buatmu. Coba dulu aja.’
Mika mencobanya dan dia suka. Nada bercerita tentang Kopi Aroma yang membuatnya menunggu satu jam karena antrian di tokonya di Jalan Banceuy Bandung selalu ramai dikunjungi pembeli. Satu bungkus 250gram dia beli dengan harga 7500 rupiah saja. Sementara kalau sudah sampai di supermarket, harga itu melambung menjadi 17000. Kopi Aroma adalah toko kopi tua mungkin salah satu yang tertua di Bandung. Kecil saja tempatnya. Dikelola secara turun temurun. Aroma dan rasanya sulit bandingan buat Nada. Tapi kopi selalu begitu, tidak perlu dibandingkan, karena ini soal selera. Setiap kopi punya ciri khasnya sendiri.
‘Aku usahakan untuk tahu kopi yang kuminum ini darimana asal dan ceritanya. Agak sulit cari tahu kalau kita ada di kedai kopi internasional. Okay disebut, ini kopi Jamaika atau Brasil, tapi negara itu kan luas sekali. Darimana aku tahu mereka membeli kopi dari petani dengan bayaran yang baik atau tidak. Imperialisme sudah berganti dengan kapitalisme, penjajahan ya penjajahan, serupa pencurian tetap pencurian apa pun alasannya kan. Cuma ganti rupa.’
‘Can I have your coffee more tonight?’
‘Kenapa? Apa kamu harus begadang lagi malam ini?’
‘Iya masih ada 5 video yang harus diedit.’
‘Dari lima itu, mana yang sebenarnya tugasmu sendiri?’
‘Dua. Tiga lainnya ngebantuin temen.’
‘Oh Mika, be an EVIL sometimes atau paling tidak, egoislah sama diri sendiri. Tolak sesekali permintaan bantuan dari orang lain. Kamu kan harus mikirin kesehatanmu sendiri, tugasmu sendiri.’
‘Please can I just have your coffee for tonight?’
‘Pasti, aku pasti kasih kopi buatmu. Tapi…’
Nada sudah tahu apa pun yang dia omong tidak akan membuat Mika berhenti menjadi ‘orang baik’ yang tidak bisa bilang TIDAK pada mereka yang minta dibantu. Kalau dia sibuk membantu orang lain, kapan dia punya waktu untuk bantu dirinya sendiri, buat istirahat.
‘Where were you this morning? You were late’
‘I got a seizure last night.’
Nada menatap mata sambil menarik tangan Mika. Tangannya luka, menahan tubuhnya yang kejang dan berusaha membangunkan dirinya sendiri.
‘Stop it. Don’t worry. I am okay…. For now’
(Goldsmiths’ Garden, London)