Percaya jatuh cinta pada pandangan pertama? Percaya sajalah seperti Melvut, tokoh utama di buku setebal 778 halaman ini. Melvut ABG berpandangan mata, sekilas saja dengan mata hitam legam yang menenggelamkan hatinya, milik Samiha, si bungsu dari tiga bersaudari anak Abdurahman Effendi.
Sejak pandangan mata itu, Melvut si tukang Boza, minuman fermentasi khas Turki, susah hati, tak enak makan dan tidur. Atas bantuan Ferhat, Melvut belajar menyusun surat cinta, yang kalimat pertamanya disusun selama tiga minggu. Surat itu dititipkan pada sepupunya Sulayeman yang ‘menipu’ Melvut dengan bilang kalau si pemilik mata indah itu adalah Rayiha, anak kedua dari Abdurahman Effendi. Selama tiga tahun surat itu salah alamat.
Seperti kebiasaan di Turki, begitu anak perempuan berusia sekitar 16 tahun, bapaknya akan sibuk mencari calon pendamping. Sebagai tanda jadi, si peminang bisa meninggalkan sejumlah harta pada orang tua perempuan. Abdurahman sudah menikahkan Vediha pada kakanya Sulayeman, Korkut. Mendengar calon bapak mertuanya bersiap mencari jodoh untuk Rayiha, Melvut yang baru saja kembali dari wajib militer jadi kalang kabut. Tapi di lain pihak, duit darimana buat melamar Rayiha, kecuali selembar surat tanah yang dia warisi dari almarhum bapaknya.
Bersengkongkol dengan Sulayeman dan Vediha, Melvut berhasil membawa lari Rayiha – ingat ya Melvut masih sangka Rayiha itu Samiha si pemilik mata indah. Ketika mereka bertemu di lading menuju mobil yang mengantarkan keduanya kabur ke Istanbul, barulah Melvut sadar, suratnya telah sampai ke tangan yang salah.
Cinta bersemi setelah mereka berdua. Melvut belajar mencintai Rayiha, dan mencintainya sepenuh hati bahkan sampai akhir cerita.
Ujian kesabaran selain macet adalah membaca buku-bukunya Orhan Pamuk, lamban. Tapi seperti juga macet, meski ngedumel tetap dilewati dengan sabar, dalam hal ini karena dalam perjalanan 778 halaman itu, ada banyak kisah yang membuat emosi terguncang dan pengetahuan baru.
A Strangeness in My Mind tidak sekedar cerita cinta. Melvut adalah pedagang keliling Boza, sepanjang malam sejak 1969 sampai dengan 2012, kecuali tiga tahun masa wajib militernya, dia tak pernah absen berjualan di malam hari. Berjalan adalah meditasi, kedekatan yang menyatukannya dengan Istanbul sebagai rumah. Dia bicara pada tembok rumah, billboard iklan, poster-poster dan pada makam yang dilewatinya. Saat sedih, teriakan Booo—zzzaaaa nya memilukan, saat bahagia dia akan berteriak penuh senyum. Emosi dalam suaranya lah yang menarik pembeli keluar dari jendela rumah dan memanggilnya masuk.
Jalan-jalan yang dilaluinya berubah saban saat. Tadinya Istanbul cuma dihuni 3 juta orang ketika dia tiba dari desanya 1969, tapi di akhir cerita kota itu dipadati 13 juta orang. Sekelilingnya makin padat. Dulu ketika dia datang, tanah di perbukitan kosong, ayah dan pamannya tinggal mematok tanah, bangun rumah lalu mendaftarkannya ke balai kota sebagai hak milik. Seiring waktu, lingkungannya semakin padat oleh pendatang, kebutuhan tempat tinggal kian tinggi. Mafia tanah mulai menawarkan harga dengan murah dan menjualnya kembali kepada pengembang dengan harga tinggi. Apartemen bertingkat tinggi muncul di sana sini. Rumah masa kecil Melvut pun terpaksa dia jual dan pindah ke apartemen bertingkat 12 yang dihuni bersama dengan paman, bibi, dan dua sepupunya. Boza yang dibuat sendiri pun harus bersaing dengan buatan pabrikan. Begitunya dengan munculnya café-café baru di sekitar rumahnya.
Buku ini juga bercerita tentang politik Turki, tentang mereka yang aliran kiri, kelompok komunis, islamist dan secularisme. Kutipan menarik dari buku ini, ‘komunis yang pintar itu cari duit setelah menikah. Komunis bodoh itu cari pegangan di orang lain.’ Ini menyindir Ferhat, yang politiknya kiri, lalu berubah menjadi kapitalis dalam perjalanan hidupnya sebelum mati dibunuh oleh pasangan gaynya.
Kisah Vediha, Rayiha dan Samiha juga menarik, menggambarkan perjuangan perempuan untuk membebaskan diri dari tradisi patriarki di Turki dimana kehidupan mereka ditentukan oleh lelaki dalam rumah, mulai dari ayah lalu suami. Ketika Samiha mengikuti jejak Rayiha, kabur dari perjodohan, Vediha dengan lantang mengatakan bahwa perempuan bukan untuk dijual. Perempuan berhak untuk bersama pilihannya. Pertanyaan-pertanyaan Vediha juga menarik, ‘apakah dia istri, sebagai perempuan atau pembantu di rumah itu? Kenapa harus dia yang menyediakan semuanya dan memastikan kebutuhan semua orang di dalam rumah terpenuhi.’
Melvut, tokoh utama ini adalah orang yang lempeng, pemersatu semua yang berpandangan politik berbeda. Dia bersahabat dengan Ferhat, si kiri, berhubungan baik dengan dua sepupuhnya yang secular, dan diam-diam mendatangi Holly Guide, guru spiritualnya dari kaum Islamist. Tanpa harus terjerumus pada pandangan politik manapun, Melvut berhasil menjaga reputasinya sebagai orang yang jujur, rendah hati, dan pekerja keras. Buat dia, bahagia adalah memberikan kebutuhan yang cukup kepada istri dan dua anak perempuannya. Mendorong keduanya sekolah sampai tingkat universitas. Apalagi yang bisa dibanggakan seorang lelaki kecuali anak-anak yang berpendidikan tinggi.
Orhan menyajikan cerita dengan gaya berbeda, setiap tokoh berbicara untuk dirinya sendiri. Bagaimana Melvut berbicara tentang isi kepalanya, Vediha, Ferhat, Korkut, Sulayeman, Rayiha, dan Samiha. Buat saya, meski lambat, buku ini tetap asik untuk dibaca.
Buku Orhan Pamuk lain yang saya rekomendasikan untuk juga dibaca, karena saya sudah kelar maksudnya:
- Snow
- My Name is Red
- The Museum of Innocent
- White Castle
Selamat membaca 🙂