Review: Harry Potter and The Cursed Child – The Play

Standar

I would not spoil anything, promise. That is why I am going to write my review in Bahasa Indonesia as my readers mostly in Indonesia and we don’t have the play there… fair enough right?!

Sederet penonton perempuan di belakang saya berisik sekali mengomentari bagian pertama The Play dari Harry Potter and The Cursed Child. Mereka bilang karakternya berbeda dengan buku Harry Potter terakhir, seharusnya si A begini dan begitu.

Harry Potter hadir dalam tiga medium berbeda, buku, film dan sekarang teater atau kami menyebutnya di sini dengan The Play. Tiga medium ini punya keleluasaan untuk menintepretasikan isi buku- sebagai induknya dengan cara yang berbeda. Bayangkan kalau 500 halaman buku harus diterjemahkan dalam 3 jam film dan 6 jam teater yang dibagi dalam dua bagian. Tentu ada bagian yang harus dibuang dan yang didahulukan. Buat saya yang membaca semua edisi buku Harry Potter – kecuali yang terakhir ini, menonton semua film Harry Potter dan puncaknya malam ini adalah nonton the play Harry Potter, semuanya menarik dengan caranya masing-masing. Kalau saya boleh merunutkan mana yang lebih enjoyable, maka pertama tetap buku (karena itu merasa harus beli edisi terakhir), the play dan terakhir filmnya.

Harry Potter and The Cursed Child masih seperti edisi sebelumnya, bicara tentang persahabatan tapi kali ini lebih kompleks karena Harry Potter ada di usia 40 yang ketakutan menghadapi kenyataan sebagai ayah bagi anak tengahnya yang ‘pembangkang.’ Albus Severus Potter, berada di belakang bayang-bayang nama besar Harry Potter yang terkenal sebagai penyelamat, pahlawan yang berhasil mengalahkan Voldemort.

‘We can’t choose our relatives,’ kata gadis berambut perak kepada Albus, yang merasa tidak akan pernah bisa mengikuti jejak ayahnya sebagai penyihir hebat. Albus tidak pandai berkawan dibanding kakaknya James Potter atau adiknya Lily Potter. Lalu bertemulah Albus dengan Scorpius Malfoy yang kemudian menjadi sahabat. Seperti Albus, Scorpius juga bermasalah dengan nama buruk Malfoy yang disandangnya, karena ayahnya Draco Malfoy dekat dengan kekuatan jahat Voldemort.

Cerita kemudian berkembang ketika Albus ingin menulis ulang sejarah, membebaskan ayahnya dari rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan Cedric yang mati di tangan Voldemort. Albus jatuh cinta pada gadis berambut perak yang mengaku sebagai keponakan Cedric yang kemudian berhasil membujuk Albus untuk mencuri mesin waktu, menyelamatkan Cedric. Albus mengajak Scorpius dalam petualangan menjelajah mesin waktu saat Cedric bertanding menghadapi Harry belasan tahun sebelumnya. Menulis ulang sejarah sama artinya dengan mengubah masa kini dan masa depan. Beberapa kali mendapati kenyataan penyelamatan Cedric mengakibatkan Harry Potter mati, Scorpius Malfoy menjadi raja Scorpion dan Draco Malfoy sebagai Perdana Menteri, kekuatan hitam menang.

Ini cerita reuni ketika para karakter yang telah meninggal dihidupkan kembali, Scorpius bertemu Severus Snape yang membantunya menyelamatkan Albus dan Harry Potter bercakap dengan Prof.Dambeldore lewat lukisan. Ibunda Lily dan Harry Potter dihidupkan kembali.

Cerita tentu berakhir bahagia dan saya tidak akan secara rinci menggambarkan kejadiannya. Bagian ketika Harry Potter dan Draco Malfoy akhirnya berkawan karena anak-anak mereka bersahabat juga menarik. Harry bilang, ‘look at us, while we are so busy rewriting the past, we forget to give present to our children.’ Perseteruan orang tua tak bisa memisahkan persahabatan anak-anak mereka, bahkan ketika Harry mengancam Minerva yang menjadi kepala sekolah Hogwarts untuk mengawasi Albus dan Scorpius agar tidak bersama.

Kamu bisa membaca isi buku untuk cerita lengkapnya karena saya akan pindah tema untuk mengomentari tata panggung dan para pemain di atasnya.

Telegraph bilang, ini adalah sihir yang menjadi kenyataan. Lah iya, seperti nonton sulap di atas panggung, kami dibuat terkagum-kagum. Ingat lift khusus menuju kementerian sihir yang berupa telepon umum? Harry Potter menghilang di dalam telepon umum itu, di depan penonton! Lalu mesin waktu bergerak, cahaya berubah, jam berubah dan penonton merasa seperti ikut pindah ke waktu berbeda. Ketika the Death Eater melayang-layang di atas panggung, salah satunya terbang ke arah penonton di atas balkon tempat saya duduk dan disambut dengan jeritan. Atau ketika prophecy atau ramalam tentang kebangkitan Voldemort diproyeksi ke seluruh ruangan teater dan penonton bisa ikut membacanya keras-keras. Belum lagi kilatan cahaya dari tongkat ketika mereka mengucap mantra. Ketika pollyjouice mengubah seseorang menjadi orang yang berbeda, pergantian pemain terjadi begitu cepat, seperti berubah sungguhan di depan mata. Sempurna! Tata panggung yang luar biasa membuat cerita sihir ini beneran hidup.

Lalu soal pemain teaternya. Buat saya tiga karakter yang stunning aka juara adalah Harry Potter yang dimainkan oleh James Parker, Scorpius Malfoy yang diperankan oleh Anthony Boyle dan Albus Severus Potter oleh Sam Clemett. Ketiganya berhasil menampilkan permainan yang luar biasa. Harry dan Albus yang penuh emosi dan penuh penjiwaan, Scorpius yang gugup, cerdas dan saat bersamaan juga humoris. Saya sih merasa Anthony Boyle akan menjadi Benedict Cumberbatch berikutnya, cara dia menguasai karakter, melanturkan percakapan dengan intonasi naik turun dan suara yang berbeda tone dalam satu kali kesempatan yang kadang dalam tempo yang sangat cepat adalah luar biasa.

Musik dan kostum… sudahlah ya… empat jempol…

Tapi yang bikin saya bingung, JK Rowling sebenarnya menyasar siapakah dengan cerita Harry Potter kali ini? sebagai pembaca setia Harry Potter, saya tidak bisa bilang sama ponakan saya Zi yang baru delapan tahun bahwa Harry Potter adalah cerita anak-anak yang luar biasa. It was, di edisi tiga pertama saat Harry baru masuk Hogwarts. Tapi mengikuti Harry di usia remaja, belum bisa jadi konsumsi Zi. Apalagi di edisi terakhir ini, Harry Potter usianya 40 tahun, bahkan lebih tua dari saya  hari ini, anaknya aja udah remaja, cuma orang tua yang mengerti betapa galaunya Harry menghadapi Albus. Maka tidak aneh juga kalau hari ini teman nonton saya lebih banyak yang seumuran, yang mengikuti Harry Potter sejak 1997. Ketika Ron dan Hermione bercanda buat bikin anak lagi, dua remaja tanggung di sebelah saya boro-boro senyum, salah satunya malah menguap.

Harry Potter and The Cursed Child ini adalah salah satu play- teater yang tiketnya sudah ludes sejak tahun lalu. Tiket saya dibeli dengan harga 30 poundsterling, Oktober 2015 oleh Fadilah kawan saya di Goldsmiths. Tadinya sempet terpikir untuk dijual, lumayan duitnya buat tambahan kirim paket barang pulang ke Indonesia. Untungnya tidak jadi dijual, bagaimana pun pengalaman menonton teater di London apalagi untuk cerita yang ditunggu banyak orang kayak begini, adalah pengalaman yang luar biasa, tak terlupakan dan tidak tergantikan dengan uang. Bahkan kalau rezeki masih milik saya, bolehlah kiranya mengirimkan doa, pengen nonton sekali lagi. Amiiin

harry-potter

Iklan

5 responses »

  1. Thanks nit reviewnya, makin penasaran ma bukunya walaupun udah dapat spoilernya. Tapi kok yah mahal hah 😥 padahal Harry Potter bukunya bisa lengkap edisi indo n edisi English, hehehe… 😀

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s