Salah satu hal yang paling saya ingat dari buku CHAVS yang ditulis oleh Owen Jones adalah saat dia bilang bagaimana berharap jurnalis punya empati terhadap masalah kelas pekerja kalau mereka tidak pernah berada di posisi yang sama. Mereka berasal dari kelas menengah ke atas, sekolah di sekolah terbaik dan dapat pendidikan dari kampus tanpa bergaul dengan masyarakat. Mereka keluar dari kampus, melamar di media lalu menulis sesuai pesanan editor yang tercemari oleh kepentingan bisnis pemilik media. Maka selesai. Media hanya akan begitu-begitu saja.
Owen tidak berlebihan ketika dia mencela profesi jurnalis yang cuma jadi juru tulis tanpa hati dan empati. Bourdieu bilang setiap orang punya Cultural Capital yang akan mempengaruhi mereka dalam berinteraksi sehari-hari, latar belakang budaya, sosial, ekonomi dan pendidikan.
Begitu juga dengan jurnalis, apa yang mereka tulis bergantung pada bagaimana cara mereka memandang dunia dan sekitarnya. Satu sisi, jurnalis dituntut untuk menulis berita atau cerita saga, ficer panjang, sambil tetap menjaga obyektivitasnya. Nah untuk menjaga tetap obyektivitasnya, mereka tidak boleh terlalu ‘dekat’ dengan narasumber, subject cerita. Tapi, mungkinkah kamu pergi begitu saja setelah menulis tentang kemalangan mereka, bukankah itu mirip ‘eksploitasi’ mereka demi rating, demi gaji bulananmu?
Suatu ketika teman kuliah saya memposting, tonton film documenter kami tentang #homeless ya… kerja bagus tim…. Terus apa? apa sebenarnya tujuanmu menulis cerita tentang mereka? Explorasi, exploitasi atau apa? kalau kamu dapat nilai A untuk tugas akhir itu, para homeless itu dapat apa?
Setelah lebih dari 10 tahun jadi jurnalis, pertanyaan itu mengganggu saya. Buat apa sih gue nulis? Dampaknya apa? Bagaimana nasib narasumber saya yang ‘off the record’ itu? bagaimana saya bisa melindungi dia, sampai kapan? Apakah tulisan saya membawa ‘kebaikan’? Pertanyaan-pertanyaan yang menjadi salah satu alasan untuk mencoba dunia lain, activism.
Pertanyaan itu sedang mengganggu teman saya yang memulai karir jurnalisme nya barengan di 2002. Untuk menjahit apa yang ditulis oleh Owen Jones dan pengalaman pribadi saya, begini jawaban saya.
Jangan berhenti jadi jurnalis, jangan berhenti menulis, jangan berhenti berempati.
Saya, in a way, tidak sepakat dengan Owen Jones bahkan Bourdieu sekalipun. Adalah sebuah keistimewaan untuk bisa mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, dan lahir dari keluarga yang memiliki perhatian bahwa pendidikan adalah modal utama dalam hidup, lalu ‘berbudaya’ dan ‘beradab’. Saya beri kutip karena dua kata itu tergantung dari sudut mana kamu melihatnya. Tapi Cultural Capital bukan harga mati. Seperti keahlianmu menulis dan jurnalistik adalah kecakapan yang bisa dilatih, begitu juga dengan empati!
Ashoka membuat saya percaya, setiap orang bisa dilatih untuk punya empati terhadap orang lain. Termasuk jurnalis sekalipun, asalkan mereka tetap mempertanyakan dalam diri sendiri, apa sih dampak dari tulisannya di media? dan bukan bekerja hanya untuk laboring, bertahan hidup, bayar tagihan dan menjadi robot bagi pemilik modal, atau politisi dan jadi jurnalis rilis.
Jurnalis itu punya kekuatan yang luar biasa untuk mengubah dunia, didengar orang, mengubah pendapat orang. Kalau tidak hari ini, mungkin besok baru terasa. Tapi itu terjadi. Dengan alasan yang sama, maka dibutuhkan jurnalis yang punya empati, yang menulis dengan hati. Mereka yang tidak sekedar datang ke lapangan, menulis lalu pergi. Menjaga kontak, menjaga hubungan, konsisten pada isu, mengikuti perkembangan yang terjadi, dan tetap menulis, itu adalah yang terbaik. Menulis buat kepentingan kemanusian dan bukan sekedar bisnis, itu yang terbaik. Jurnalis punya kekuataan pada mikropon, laptop dan semua medium untuk menyampaikan pesan. Kalau tulisanmu tak laku di media, menulislah untuk blogmu sendiri.
Untuk hal yang sama juga, sangat butuh jurnalis yang punya nilai atau value dalam hidupnya. Saya bangga pernah bergabung dengan KBR yang punya nilai luar biasa; pluralis, demokrasi, toleransi secara institusi. Tapi sekelas BBC yang kita percaya punya nilai yang sama, secara pribadi masih ada saja jurnalis yang seksis sepanjang olimpiade misalnya. Untuk inilah perlu sekali menyaring jurnalis yang sudah punya landasan nilai yang kuat dalam hal toleransi, pluralisme dan demokrasi satu lagi yang harus masuk dalam proses seleksi adalah nilai kesetaraan gender, feminisme! Jangan terima karyawan yang sejak awal tak percaya bahwa perempuan adalah individu dengan hak dan kewajiban yang sama hanya kebetulan diberkahi vagina dan rahim.
Menulis itu keahlian yang bisa dipelajari, mudah. Empati juga hal yang bisa dipelajari, bergaulah dengan lebih banyak orang di luar zona nyamanmu. Nilai? Itu yang dibawa sejak awal, tapi bukan saya sama saja… bukan harga mati. Paparkanlah dirimu dengan lebih banyak orang yang berada di luar duniamu sendiri, bacalah, ngobrollah. Kita pernah sama-sama telanjang ketika lahir, lalu orang tua membentuk kita, lalu masyarakat mengenalkan kita pada norma sosial yang lebih besar. Tapi kunyah semua itu agar pencernaan membaik, jangan telan mentah-mentah semua hal yang akan membuatmu sakit dan muntah.
Jangan berhenti jadi jurnalis, tetaplah bersuara dengan hati.