Jumat pagi, 24 Juni 2016. Sejarah dibuat, Kerajaan Inggis Minggat Dari Uni Eropa #mycheveningjourney

Standar

Rasanya aneh, terbangun dengan sinar matahari terang menderang sejak jam lima pagi setelah berhari-hari dirundung mendung, hujan dan badai. Tapi matahari hari ini tidak ada sama seperti hari-hari sebelumnya disambut gembira. Ada yang hilang hari ini, Kerajaan Inggris meninggalkan Uni Eropa dan Perdana Menteri, David Cameron pun mengundurkan diri dan Poundsterling jatuh, terpuruk terburuk dalam 35 tahun terakhir.

Rasanya tidak ada yang tidur tenang semalam. Sampai  jam tiga pagi, grup whatsapp masih berisik berdiskusi apa yang terjadi kalau Leave menang? Pagi ini terbangun jam lima pagi, timeline Facebook saya masih penuh dengan status panic, sedih dan marah karena Leave terus mendapat angka lebih dari Remain. Sampai akhirnya penghitungan ditutup dan Leave menang…. Tidak ada yang tidur malam tadi sampai pagi ini.

Seseorang beneran bernyanyi di jalanan depan rumah. Entah itu selebrasi atau kesedihan. Muka-muka lelah mungkin habis begadang pantengin penghitungan suara semalam terlihat di bus. Diam, sunyi… seorang perempuan menerima telepon dan terkaget-kaget, setengah berteriak di dalam bus, di dek atas.

‘What? We are leaving EU? Tell me it didn’t happen? I am really piss right now. Fuck!’

Sepanjang jalan membaca status kawan-kawan yang punya hak suara dan isinya menyedihkan. Frustasi karena engga tahu lagi musti apa. Sesuatu yang sulit diterima akal sehat mereka. Beberapa di antaranya:

London should be a country on its own…

HOW AGES VOTED
(YouGov poll)
18-24: 75% Remain
25-49: 56% Remain
50-64: 44% Remain
65+: 39% Remain

Cheers now (no offence mum and dad)

Good morning splendid isolated Britain

I feel genuinely devastated. Won’t be returning to whatever remains of the “United” Kingdom any time soon.

Saya tidak punya suara, tapi ikutan memantau yang terjadi dan berharap sangat sebenarnya UK Remain in EU. Dari banyak newspaper yang dibaca barangkali ini yang perlu dibagi, nanti saya akan kasih list referensi bacaan ya.

  1. Leave memainkan isu tentang nasionalisme, NHS dan pensiun. Bahwa kesejahteraan Inggris sudah dicaplok oleh imigran, lapangan pekerjaan dan hak NHS (kesehatan). Bahwa dignity mereka sebagai sebuah bangsa sedang tercabik cabik karena EU tidak mampu memberikan mereka jaminan apa pun.
  2. Leave didukung oleh generasi nostalgia. Dalam kampanyenya mereka mengeluarkan lagi gambar-gambar semasa perang dunia kedua. Dignity.
  3. Leave or Remain ini soal perang antar generasi. Dalam statistic YouGov misalnya ditulis anak muda 18-25 pilih Remain, dan angka yang pilih Leave ada di usia di atas 50an. Mereka yang memilih Leave ga Cuma generasi tua, tapi juga dianggap nasionalis berlebihan dan sebagian tidak berpendidikan tinggi. Sebaliknya Remain dalam demografi dari the Guardian ditulis adalah anakanak muda yang ingin bebas berimigrasi kemanapun mereka mau, berpendidikan tinggi. Data terakhir di media menyebut hampir 75% anak muda Inggris memilih Remain…
  4. Seorang pengamat bilang, kemenangan Leave adalah kegagalan Partai Buruh untuk meyakinkan anggota buruh di seluruh Kerajaan Inggris bahwa isu lapangan pekerjaan dan kesejahteraan buruh masih bisa diselesaikan tanpa keluar EU. Selain juga mencerminkan kemarahan terhadap Jeremy Corbyn yang untuk pertama kalinya satu panggung dengan Cameron untuk Remain!
  5. Media terpecah antara yang pro Brexit atau Remain. Jahatnya yang Brexit memainkan isu imigrasi yang sangat diskriminatif terhadap imigran, menyebut mereka invader (Daily Express) misalnya. Michael Falon harus membayar mahal karena menyebut seorang ulama sebagai pendukung Isis yang kemudian menang dalam pengadilan atas pencemaran nama baik, atau defamation law.
  6. Raja media, Rupert Murdoch punya dua surat kabar – the SUN dan The Times yang keduanya ada di pihak berbeda. Jadi sebenarnya dia tetap menang, antara Leave atau Remain. The SUN bersegmen, kelas menengah bawah, kurang berpendidikan dan berkampanye LEAVE berminggu terakhir. Terakhir mendapatkan teguran karena menggunakan wajah Ratu Elizabeth II di halaman depan, bahwa Ratu mendukung Inggris ke luar EU. The Times di sisi lain, adalah koran untuk kaum terpelajar, memilih Remain. Ketika ditanya salah satu surat kabar, Evening Standard, Rupert Murdoch secara pribadi memilih Leave:

“I once asked Rupert Murdoch why he was so opposed to the European Union. ‘That’s easy,’ he replied. ‘When I go into Downing Street they do what I say; when I go to Brussels they take no notice.” (http://indy100.independent.co.uk/article/this-terrifying-rupert-murdoch-quote-is-possibly-the-best-reason-to-stay-in-the-eu-yet–WyMaFTE890x)

  1. Kematian Jo Cox pekan lalu sebenarnya cukup menggambarkan betapa mengerikannya Inggris sekarang. Jo Cox berpesan bahwa yang diperlukan Inggris adalah penghargaan tertinggi pada nilai kemanusiaan dan keberagaman. Lalu dia mati di tangan orang yang berteriak ‘British First’. Semoga saya salah, bahwa rasisme tidak seharusnya terinstitusionalisasi dan dijustifikasi dalam balutan isu nasionalime!
  2. Isu perubahan iklim yang cross border ga bisa ditackle sendirian oleh Kerajaan Inggris. Begitu kata kawan saya yang seorang environmentalist.
  3. Efek domino dari minggatnya Kerajaan Inggris adalah Belanda juga berencana referendum, lalu Irlandia dan Skotlandia tetap ingin bergabung di EU. Maka tambah rumitlah persekutan uni eropa ini.

Seorang teman menulis statusnya tentang orang-orang yang kaget karena David Cameron mundur dari kursi Perdana Menteri padahal dia merasa Cameron masih melakukan tugasnya dengan baik, sementara orangorang ini memilih LEAVE. Apa yang bisa dipetik dari sana?

  1. Pendidikan politik adalah hal yang wajib. Suka tidak suka, belajar tentang politik, hukum dan hak sebagai warga negara adalah kewajiban bersama. Semua kudu mengerti apa konsekuensi dari pilihan politik mereka.
  2. Media alternative yang independen harus ada. Selama media dikuasai pemilik modal yang berelasi kuat dengan politisi, selamanya ruang redaksi tidak akan bisa netral menjalankan fungsinya memberikan edukasi pada publik.
  3. Mewajibkan warga untuk memberikan suaranya di hari pemungutan suara. Ini ide yang disampaikan teman saya dari Argentina, dia seorang konsultan politik untuk presiden Argentina. Dia bilang dengan mewajibkan itu paling tidak mengurangi angka abstain dan menjadikan hasil pemilihan menjadi lebih representative dan legitimize. Kesannya opresiff, tapi bayangkan ini sebagai kewajiban bayar pajak misalnya, kita membayar tanpa bertanya, tapi berhak murka ketika di korupsi. Maka dengan logika yang sama, kita bisa bilang, dengan memilih, memberikan suara, kita punya hak yang lebih besar untuk murka jika mereka politisi melanggar amanat yang kita berikan. Fakta bahwa angka Turnout 72% dari EU referendum ini adalah yang terburuk sejak 1992. Maka rekomendasi (3) barangkali layak dipertimbangkan, bukan cuma di Inggris tapi juga di Indonesia.

Kampus saya ini dikuasai partai buruh, cobynomics adalah salah satu kajian utama di sini. Beberapa kali mengikuti kuliah dan sedikit banyak memahami bahwa Kerajaan Inggris tak sedang berjaya, isu soal lapangan kerja, jaminan kesehatan, dana pendidikan dan riset, serta tempat tinggal sudah berat sebelum ditambah dengan isu imigrasi. Tapi keluar dari EU dari banyak referensi bilang, bukan jawabannya.

Untuk mengakhiri catatan sejarah hari ini, saya mau mengutip Owen Jones, pengamat politik idola saya yang masih muda dan sangat cerdas menggambarkan perspektifnya.

“If the left has a future in Britain, it must confront its own cultural and political disconnect with the lives and communities of working-class people. It must prepare for how it responds to a renewed offensive by an ascendant Tory right. On the continent, movements championing a more democratic and just Europe are more important than ever. None of this is easy – but it is necessary. Grieve now if you must, but prepare for the great challenges ahead.” (https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/jun/24/eu-referendum-working-class-revolt-grieve)

Selamat menempuh hidup baru Kerajaan Inggris, wishing you all the best. Saya merasa beruntung berada di sini ketika sejarah baru dimulai 🙂

Inggris Thames

Referensi tambahan layak baca:

http://www.theguardian.com/politics/commentisfree/2016/jun/23/how-can-we-heal-a-nation-divided-by-the-referendum?CMP=fb_gu

http://www.theguardian.com/profile/owen-jones

https://yougov.co.uk/news/2016/06/24/brexit-follows-close-run-campaign/

 

 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s