Tidak ada yang istimewa hari itu bagi Jimmy. Seperti hari-hari sebelumnya, membosankan. Di depan layar 13 inci dengan pekerjaan yang sama, gunting, sambung potongan film yang dibuatnya berbulan-bulan lalu. Pekerjaan yang tak kunjung tuntas, satu dan lain perkara selalu datang bersamaan.
‘Kamu bahagia?’
Sebuah pesan masuk di aplikasi Whatsapp nya. Lagi-lagi perempuan yang sama, yang menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan aneh yang sering datang tiba-tiba. Pertanyaan yang membuatnya sontak bingung dan berhenti sejenak dari kegiatannya. Barangkali cuma itu hiburan yang dia miliki, dipaksa berpikir untuk hal yang tidak terduga. Beberapa hari lalu pertanyaan perempuan itu adalah, ‘Bagaimana cara melukiskan malam dengan bulan separuh dan lampu-lampu gedung yang berpendar dari kejauhan?’. Lain hari sewaktu dia menggambar untuk tugas akhir, perempuan itu di sampingnya, menatapi gambarnya dengan mulut yang tak berhenti bertanya, ‘kenapa tangannya di situ, kenapa wajahnya cuma setengah, kenapa perempuan itu berbuntut?’. Dia terus menggambar sementara perempuan itu terus bertanya. Barangkali dia memang tak butuh jawaban.
‘Kamu habis minum? Kenapa tanya soal aku bahagia? Bahagia atas apa?’, jawab Jimmy dalam teks whatsappnya
‘Enggak abis minum. Cuma pertanyaan acak aja.’
‘Kalau gitu, boleh engga dijawab dong?’
‘Ya sudah, engga papa juga.’
Berbeda dengan rentetan pertanyaan sebelumnya yang Jimmy jawab kadang cuma dengan senyum dan dibalas senyum tanpa protes oleh perempuan itu, kali ini dia tak tenang.
‘Ada apa?,’ Jimmy melemparkan khawatirnya
‘Engga ada apa-apa.’
‘Kamu selalu bertanya hal-hal aneh tanpa menjelaskan kenapa. Sekarang ada apa?’
‘Engga ada apa-apa. Cuma hormone aja. Lagi mens neh.’
‘Hahahaha okay. Baik-baik ya.’ Teks terakhir Jimmy hari itu sebelum dia kembali meneruskan pekerjaannya.
Mereka bertemu di kampus, sama-sama mengejar gelar dengan harapan sama, barangkali gelar bisa membukakan jalan untuk masa depan yang lebih baik. Bukan pasangan kekasih, hanya teman istimewa. Berbagi mimpi, berbagi rahasia… Jimmy kepadanya dan tidak sebaliknya. Perempuan itu menyimpan semua misterinya sendiri dan Jimmy merasa tak perlu bertanya banyak untuk menghormati privasinya. Dia hanya menyediakan bahu ketika perempuan itu tetiba menggedor pintu kos nya dan menangis tanpa menjelaskan apapun yang terjadi. Jimmy hanya tahu sangat sedikit tentang perempuan itu yang selalu pasang wajah gembira dan tersenyum pada siapa pun. Tentang perempuan yang usianya lima tahun lebih tua, memiliki pekerjaan yang tetap di kampung halamannya, seorang akuntan dan studi ini semacam liburan panjang dengan harapan setelah kembali promosi menanti. Perempuan mandiri yang sedikit gila dengan mimpinya tentang negara tanpa pemerintahan, bagaimana menciptakan bahagia tanpa harus diperbudak materi.
‘Tidak mungkin lah hidup bebas materi. Kita bisa bahagia kalau semua kebutuhan material terpenuhi,’ Jimmy berargumen
‘Bisa kok. Kebutuhanku cuma untuk makan tiga kali sehari, aku engga butuh baju baru karena masih ada. Pun kalau butuh beli barang loakan aja.’
‘Aku engga bisa. Aku butuh hiburan, aku mau nonton opera, pameran seni, pergi nonton pertandingan langsung sepakbola, liburan ke sana sini, aku perlu wiski. Semua itu perlu uang. Karena itu aku kerja lebih keras daripada kamu yang habiskan waktu dengan buku.’
‘Kalau dengan buku aku bisa bahagia kenapa tidak.’
‘Well, Congratulation. There you go, you have found your happiness and I haven’t.’
Padahal selalu begitu, percakapan mereka selalu berakhir dengan argumentasi, ketidaksepahaman untuk banyak hal. Tapi itu tak pernah menghentikan percakapan yang berlangsung saban hari, dari pagi sampai menjelang pagi lagi. Lewat whatsapp atau bertatap muka. Kalau pun berjeda berjam-jam tanpa balas, keduanya tahu itu karena kesibukan, entah kerja, kuliah atau ketika Jimmy sedang kencan.
‘Aku jatuh cinta’. Kata perempuan itu sambil tengkurap di lapangan rumput kampus.
‘Entar juga hilang.’ Jawab Jimmy sambil lalu, di sebelahnya menikmati matahari siang yang tumben terik dan lapangan dipenuhi mahasiswa bertelanjang dada atau dengan tank top saja. Biar matahari membakar kulit, gelap itu eksotis.
‘Gimana kalau perasaannya engga hilang?’
‘Gimana kalau hilang?,’Jawab Jimmy yang dibalas dengan tendangan kecil. ‘Es krim yuk?’
Sebelum keduanya berubah pikiran, mereka terbirit-birit membereskan buku dan jaket yang berubah jadi alas tidur di atas rumput. Mereka berlari menuju stasiun kereta, berganti lagi dengan kereta lain.
‘Kita mau kemana sih sebenarnya?’, perempuan itu akhirnya bertanya
‘Hahaha ke Camden.’
Camden itu jauhnya hampir satu jam dari kampus mereka, dan kelas dimulai setengah jam dari keberangkatan mereka. Siapa peduli. Bukan soal es krim dua setengah poundsterling yang sebenarnya bisa dibeli di truk yang mangkal di depan kampus, mereka hanya ingin meneruskan percakapan mulai dari hal sederhana sampai seperti biasanya, pertanyaanpertanyaan ajaib perempuan yang membuat Jimmy harus berpikir keras menjawabnya. Pertanyaan-pertanyaan ajaib yang bakal dirindunya setelah kuliah ini berakhir dan mereka kembali ke hidup di kampung halaman masing-masing. Jimmy menikmati pertanyaan-pertanyaan itu, menikmati perempuan gila yang selalu bisa diculiknya untuk kabur sejenak dari layar 13 inci dan tugas-tugas kuliah yang menumpuk.
Camden yang tak pernah sepi dari turis, mereka berdesak-desakan mengantri makan siang, berjejer di tengah gerimis untuk es krim, mengitari Camden Market yang menjual barang antic. Cekikikan di dalam Cyberdog Store yang menjejerkan semua pakaian dan perlengkapan futuristic dengan music trence yang membuat badan dan kepala bergodek. Seperti diskotek berbalut toko, atau toko dengan sentuhan diskotek, music, lampu berkelapkelip dan dua penari di sudut lantai dua mengikuti music yang berdentum. Di lantai bawah menjajakan semua perlengkapan permainan di atas kasur, semua yang biasanya dilihat di film dewasa. Mereka tertawa…
Petualangan tak berhenti di sana, batal kembali ke kampus, lompat ke atas bus yang pertama mereka lihat, Hampstead Heath, salah satu taman dengan keanekaragaman hayati terbesar di London. Jimmy membawanya kesana karena perempuan itu penggemar Chris Martin dari Coldplay, dan musisi itu sering terlihat jogging di Hampstead Heath. Perempuan itu berlari ke sana kemari seperti kijang yang melompat-lompat bahagia.
Jimmy merasa tak perlu mengenal perempuan itu lebih dalam hanya untuk membuat perempuan itu tersenyum dan tertawa bahagia.
‘Hey guys, ada yang terjun dari atas gedung kampus malam ini?’ pesan yang sampai di grup Whatsapp Jimmy
What? Siapa? Kenapa? Kok bisa? Ada apa? Stresskah? Masa sih engga bisa diomongin sama temen kalau stres karena tugas kampus. Jangan pada bunuh diri yaa…. Dan lain-lain…. Pesan bertubi-tubi datang. Jimmy mulai tak enak hati.
‘Nicky, are you there? Are you okay?’ Jimmy mengirimkan pesan. Tanpa balas. Dia menelpon hape perempuan itu, tak diangkat.
Pesan elektronik baru dia periksa beberapa jam kemudian, dari Nicky.
‘Hey Jimmy…. Terima kasih sudah membuatku tertawa selama ini. Terima kasih sudah menjadi teman yang sangat baik. Pertanyaan tadi sebenarnya untukku, dan semua pertanyaan yang seringkali aku sampaikan sebenarnya untukku sendiri. Barangkali aku ingin hidup lewat hidupmu, lewat mimpimu, lewat semangatmu. Tapi aku sampai pada kesimpulan, itu hidupmu, bukan aku. Lalu aku bertanya, kenapa harus cara ini yang aku ambil? Jawaban terakhirku, Kenapa Tidak. No worries Jimmy, I am happy.’
Perpustakaan Goldsmiths, London, 14 Juni 2016