Review: CHAVS by Owen Jones – Ketika Penggemar KW Menjadi Bahan Candaan dan Hinaan

Standar

Buku ini diawali dengan pertanyaan, kemiskinan itu salah siapa?

Jawaban paling mudah adalah, kemiskinan itu salah pribadi, sudah bodoh, pemalas pulak. Lupa kita bahwa masalah kemiskinan adalah masalah sosial, artinya ga semudah telunjukmu jalan-jalan tunjuk sana sini atau diri sendiri sebagai biang masalah. Ini masalah yang harus diselesaikan dari setiap sudut.

Di awal termin musim semi, asdos Promotional Culture, Emily bilang, kalau mau tahu soal kehidupan sebenarnya di Inggris, bacalah Chavs!. Buat saya yang datang jauuh dari Indonesia, melihat Inggris adalah sebuah negara luar biasa maju dan makmur, rakyatnya ‘mungkin’ lebih bahagia daripada di Indonesia. Tapi kalimat pembuka itu menampar saya dan beberapa kali tertampar begitu membacanya sampai akhir lalu babak belur. Persepsi saya dan banyak orang tentang Inggris menjadi salah besar. Dalam bagian akhirnya, Owen Jones memberikan judul, Broken Britain, bahwa mereka sedang dalam masalah besar di dalam negeri. Bahwa kelas pekerja, working class dalam buku ini disebut, tetap menjadi bagian dari masyarakat yang tidak punya suara tapi selalu dijadikan make-up politic untuk mendapatkan suara di pemilu.

Sounds familiar ya… iya lah… politik sana sini sama aja, dan masyarakat cuma jadi penonton.

Chavs adalah istilah yang dipakai untuk mengolok-olok kaum pekerja yang miskin dan Cuma mampu pake barang KW.

“Those labelled ‘chavs’ became frequently ridiculed for failing to meet lofty middle-class standards in what they wore, or how they ate.’- page 114

Ketika Owen bicara tentang kelas pekerja, ini bukan immigrant loh, ini semua kelas pekerja termasuk warga asli Inggris. Mereka yang bekerja lebih panjang untuk upah yang belum tentu lebih baik, sebagai pelayan di restaurant, di Sainsbury, di pom bensin, buruh pabrik. Mereka yang harus berhadapan dengan tingginya pajak penghasilan dan terutama tempat tinggal. Mereka yang katanya diwakili oleh Partai Buruh tapi ternyata, di bagian Broken Britain, just like any other political party, itu semua hanya identitas, suara mereka tetap tak berarti. Apalagi dimasa Tony Blair, dengan New Labour nya, yang lebih ramah pada industry daripada pekerjanya.

Lalu ketika mereka ingin pakai barang trendi macam Burberry tentu saja tak sanggup kecuali pakai barang KW, dan itu jadi barang olok-olok, CHAVS… tapi di saat bersamaan memakai Burberry KW jadi semacam trend mode, bangga jadi chavs… sampai Burberry sendiri mengubah strategi marketing mereka gegara ini, turun pasar dooong.

Lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan jumlah pekerja yang terus bertambah. Sana sini pabrik tutup karena memindahkan pabrik ke asia atau afrika tentu lebih murah. Sementara yang ditinggal kelabakan untuk meneruskan hidup. Perempuan muda memilih menikah dan punya anak untuk bisa dapat tunjangan. Angka pengguna narkotika di kantong-kantong kemiskinan terus tinggi karena depresi terhadap situasi yang ada. Sound familiar lagi ya…

Owen ‘menyalahkan’ dogma Margaret Thatcher – Thatcherism dimana:

‘The wealthy were adulated. All were now encouraged to scramble up to social ladder, and be defined by how much they owned. Those who were poor or unemployed had no one to blame but themselves. To be working class was no longer something to be proud of, never mind to celebrate. Old working-class values, like solidarity, were replaced by dog-eat-dog individualism. No longer could working-class people count on politicians to fight their corner.’ – page 71

Dan kalau nasib orang ditentukan oleh kelakuan dan bukan latar belakang ekonomi, kata David Cameron

‘What matter most to a child’s life chances is not the wealth of their upbringing but the warmth of their parenting – Cameron claims.’

Lalu kata Owen Jones, tentu saja ini cara aman paling aman untuk keluar dari tanggungjawab politik. ‘If you think the solution to poverty is parents being nicer to their kids, when why would it matter if you cut people’s benefits?(page 77)

Owen Jones menggambarkan bagaimana working-class tetap dimiskinkan secara politik. Mulai dari keberpihakan pemerintah pada bisnis, menjegal langkah serikat pekerja untuk membela hak buruh, memberikan intesif pajak aka pemotongan pajak sebesar-besarnya pada bisnis sementara di lain pihak, memotong tunjangan kesehatan, meningkatkan pajak tempat tinggal, memangkas anggaran pendidikan, adalah cara mereka melanggengkan kemiskinan yang sudah ada.

Owen mengingatkan setiap orang punya cultural capital yang diturunkan dari keluarganya. Mereka yang terlahir dari keluarga menengah ke atas dan terpelajar dengan koneksi orang tua yang banyak, sekalipun tak selalu bersinar dalam sisi mana pun, seorang anak masih bisa ‘aman’ menjalani masa depannya. Sebaliknya mereka yang terlahir dari keluarga pekerja yang miskin, orang tua tak punya pendidikan yang cukup jangankan untuk membangun jejaring, mereka hanya bisa memberikan kehidupan untuk hari ini, maka anak-anaknya cenderung akan hidup tak lebih baik dari orang tua mereka. Tentu saja selalu ada pengecualian pada kasus-kasus anak-anak yang berhasil bersinar dan keluar dari lingkaran kemiskinan.

Isunya makin kompleks ketika kemudian imigran dipersalahkan atas semakin sempitnya lapangan kerja, bahwa mereka mengancam keberadaan white working class, bahwa mereka merampas hak pribumi. Semakin dikipas oleh partai politik BNP  (partai nasionalis) misalnya. Dalam konteks menjelang pemilu Brexit, isu imigran makin kencang dihembuskan sebagai alasan buat Inggris keluar dari Uni Eropa.

Yang juga menarik adalah bagaimana media ikutan bersalah telah menyudutkan kaum pekerja yang miskin ini. Tentu saja semuanya kembali ke latar belakang si Jurnalis ini. Kalau jurnalisnya berasal dari keluarga menengah keatas, berpendidikan sarjana dari universitas terkenal yang mahal dan hidupnya nyaman, apa yang bisa diharapkan untuk mereka menuliskan kemiskinan dalam porsi yang berimbang? Tau apa mereka soal kemiskinan?

Sebagai kontribusi dari buku ini, Owen menyarankan salah satu yang bisa dilakukan tentu saja membuka lapangan kerja yang bisa menyerap sebanyak-banyaknya pekerja. Tentu ini Cuma satu dari banyak hal yang bisa dilakukan tapi kembali pada kebijakan politik di Inggris.

Sebagai tambahan informasi, Owen Jones adalah kolumnis di The Guardian, kelahiran 1984, lulusan Oxford. Buku Chavs ditulis setelah melakukan investigasi, mewawancarai anggota parlemen, warga mewakili working class dan middle class, pejabat pemerintah, politisi, bisnis dan jurnalis. Tulisannya jujur, penuh kemarahan, straight forward aka tidak berbunga-bunga. Highly recommended, and im waiting for his second book to read, The Establishment.

CHAVS

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s