Ketika Pergi Adalah Jalan Paling Gampang Buat ‘Bahagia’

Standar

Bahagia adalah definisi yang dibuat sendiri, sangat subjektif. Definisikan dulu bahagiamu. Buat saya, berada di tengah kawan yang bisa membuat saya terpingkal-pingkal, membagi tangisnya, atau membuatnya tersenyum adalah bahagia. Lalu temukan lagi arti ‘kawan’ buatmu. Tentu saja usia pertemanan ga menjamin mereka akan membuatmu bahagia atau sebaliknya. Teman SD mu sudah tak punya bahan percakapan denganmu karena pengalaman hidup, lingkaran teman, pekerjaan yang berbeda. Lalu isi kepalamu juga belum tentu lagi sama dengan mereka yang dianggap teman. Waktu, pengalaman hidup, idealism, semua mengubah keadaan. Saya merasa teralienasi dari lingkaran pertemanan, dari nilai umum dan ekspektasi sosial di lingkungan yang selama ini saya merasa nyaman di dalamnya.

Bahwa menjadi pendukung hak asasi manusia dalam isu LGBT dianggap ‘salah,’ menjadi feminis adalah ‘radikal,’ terlalu ‘ekstrim’ ketika menjadi aktivis lingkungan, ‘kiri’ dalam pandangan politik, terlalu berani mengungkap pendapat, lalu saya ‘tersingkir’ dalam hal yang dianggap ‘mayoritas’ di negeri ini dan terlalu ‘intimidatif’ bagi sebagian kawan.

Paling mudah adalah tidak kembali ke rumah seperti saran sahabat saya di Jerman. Kata kawan di sini, you done enough for everyone, find your own happiness, stay here. Andai setiap keputusan bisa semudah menjentikan jemari ya…

Menjadi diri sendiri di negeri yang beranjak mundur menjadi tradisional, konservatif, dan ‘dikuasai’ mereka yang cuma melihat hitam dan putih dari sebuah kitab suci, emang berat. Tapi pergi adalah hal yang terlalu mudah buat saya, dan bukan itu yang saya cari. Hidup ga pernah mudah buat saya, ga pernah. Apa yang saya dapat hari ini, bukan sebuah kebetulan, tapi perjuangan dan ga mungkin berhenti di sini. Hutang saya pada mereka yang mendukung saya sampai di sini terlalu banyak untuk ditinggal pergi begitu saja. Dan ngebayangin bahwa ada jutaan perempuan yang segila saya di rumah adalah semangat untuk kembali. Kalau semua perempuan gila pergi dari rumah besar bernama Indonesia, lalu siapa yang akan cerewet pada negeri ini. Cerewet dari jauh itu beda loh dengan mengalami sendiri, berdiri bersama teman-teman yang peduli pada perbaikan. Saya tidak sedang menjadi pahlawan, sama sekali tidak. Saya Cuma satu perempuan gila dari banyak perempuan yang masih berjuang dan konsisten berjuang untuk persamaan hak perempuan dan lelaki.

Buat saya yang besar di keluarga poligami, tiga ibu, 12 saudara sebapak, pernah hidup dengan 50 ribu satu bulan, lima kawan kecil mati karena over dosis, dua di antaranya mati di penjara karena digebukin petugas, kawan perempuan sekampung menjual diri untuk hidup ‘lebih baik,’ saya tahu betul apa yang saya bicarakan dan perjuangkan. Di sini, di London, saya belajar teori, perjuangan hidup sebenarnya ada di sana, di rumah bernama Indonesia. Ya tentu saja saya akan pulang, and whatever happens in London, stays in London…

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s