Buruk rupa, pecahkan kacanya

Standar

Tetiba negeri ini diancam ketakutan, setiap keluarga tetiba merasa takut anaknya ‘ketularan’ menjadi lesbian, gay, bi-seksual, transgender. Tetiba kawankawan LGBT yang sudah ada sepanjang sejarah manusia menjadi bulan-bulanan ketakutan mereka, ancaman api neraka kembali dikobarkan. Apa yang salah menjadi manusia yang berbeda? Jawabannya selalu kembali ke agama, bukan kembali pada manusia… jika berdakwah adalah kewajiban, maka dengan derajat yang sama, mestinya kita bisa menempatkan penghormatan pada perbedaan, dan pilihan masing-masing, tidak menyebarkan benci.

Lalu para orang tua diingatkan kembali untuk mengawasi anaknya lebih dari biasanya, dipermasalahkan kembali tentang atribut. Perjuangan menghapus perbedaan pink adalah perempuan dan biru adalah lelaki selama bertahun-tahun tetiba luluh lantak. Anak lelaki harus diperkenalkan pada atribut kelaki-lakian, anak perempuan pada ke feminitas – begitu ga sih istilahnya? Itu sama dengan anak lelaki ga boleh cengeng, ga boleh menangis, karena itu penanda kelemahan, yang Cuma nempel di anak perempuan. Lagi-lagi perjuangan feminis untuk menghapus perbedaan manusia berdasarkan kelamin ini hancur… cur… cur… karena orang tua takut jika anaknya memilih berbeda… lalu seolah-olah karena entahlah orang penting mana yang anaknya memilih LGBT lalu merasa mereka telah salah mengasuh dan tidak bisa menerima hal itu, lalu menyalahkan semua kawan LGBT. Seperti kalau kamu merasa buruk rupa, lalu yang dipecahkan kacanya.

Begini ya, soal atribut, tentu saja saya akan bercerita tentang pengalaman pribadi karena ini blog pribadi saya toh 🙂

“Anak pertama sih maunya anak laki, biar bisa jaga keluarga, bawa nama keluarga. Tapi ya kalau Tuhan kasihnya anak perempuan, ya gimana lagi, terima aja.”

Pernah dengar kalimat di atas? Entah bagaimana saya bisa tahu kalau papi saya juga tidak berharap anak pertamanya adalah saya, perempuan. Mau tahu rasanya? Sakit dan sedih, lalu mencoba mengerti itulah alasan kenapa papi mendidik saya seperti anak lelaki yang diharapkannya. Secara kebetulan juga, mami saya tomboy banget, akhirnya saya besar dengan segala atribut anak lelaki. Saya memilih main bola ketimbang loncat karet dan boneka atau masak-masakan. Saya babak belur jatuh dari pohon dan sepeda waktu bermain dengan teman-teman kecil yang semuanya lelaki. Saya diajari ganti ban mobil, genteng, ngoprek mobil dan motor. Tentu saja rok bukan pilihan utama, mami sampai ngejar-ngejar saya yang lari karena ga mau pakai rok ke sekolah.

Seperti tahu anaknya kecewa karena tidak diinginkan, mami selalu bilang, jadi anak perempuan harus kuat seperti anak lelaki, harus pintar dan tunjukin bahwa anak perempuan mampu mandiri dan tidak bergantung pada siapa pun.

Kalimat itu nyangkut sampai hari ini, saya tidak Cuma memaafkan papi tapi berterima kasih padanya karena membuat saya tumbuh jadi anak yang keras pada diri sendiri dan mandiri. Ketika papi sakit, pada om saya dia bilang,’ga ada anak lelaki saya yang sayang dan merawat saya sebaik nita dan lina. Di ujung hari, anak-anak perempuan saya yang ternyata membuat saya bahagia.’ Lalu jempolnya mengacung pada saya yang menghamburkan diri memeluknya…

So, kembali ke topik, meski saya dibesarkan ala anak lelaki, tidak menjadikan saya memilih menjadi anak lelaki. Saya tetap perempuan yang sampai hari ini hanya tertarik pada lelaki. Pun sekali lagi, kalau ada anak perempuan yang kemudian memilih mencintai perempuan lain atau memilih menjadi anak lelaki, terus kenapa? Apakah dia akan berhenti menjadi manusia karenanya? Apakah kamu bukan lagi orang tuanya dan dia bukan lagi anakmu? Mana lebih penting, urusan selangkangannya atau cara dia menjadi manusia yang berguna bagi sekeliling, dan bagimu?

Suatu hari saya pernah tanya,’kalau anak mami ini ternyata lesbian gimana mam?’ dia melotot kaget, terus ketawa, ‘ya sudah mau gimana lagi, hidupmu toh,’ biasanya akan berlanjut, ini hidupmu, tanggungjawabmu. Bertanggungjawab dan berbahagialah dengan pilihanmu, Cuma itu yang mami mau.’

Setelah Allah, adalah Ibumu… kirakira begitu yang saya tahu. Dan mami saya adalah yang pertama tahu segala hal yang terjadi pada saya. Menjaga hatinya adalah pagar hidup saya.

Anyway, ada banyak hal yang sebaiknya ditakuti, tentang pernikahan dini anak-anak bau kencur yang dipaksa melayani lelaki dewasa, pada kasus perkosaan anak yang dilakukan orang-orang terdekat, bukan pada atributnya, bukan soal pink dan biru, boneka dan mobil…

I know what you might think, tahu apa saya soal pengasuhan anak, punya aja belum… ahai.. punya pengalaman luar biasa dari orang tua yang hebat sudah cukup membuat saya berkaca, mau apa saya dengan anak-anak saya nanti… lagian sejak jam pertama zi lahir, saya adalah perempuan dewasa yang dilihat dan menyentuhnya, dia lebih dari sekedar ponakan, dia adalah anak saya…

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s