Saya Feminist dan Perjuangan Yang Belum Usai – Catatan Film She’s Beautiful When She’s Angry

Standar

Film ini menunda saya bertemu dengan kawan-kawan yang sudah dijadwalkan sehari sebelumnya. Pesan di Whatsapp dari teman sekelas saya yang kebetulan lelaki tentang film ini yang sebenarnya membuat saya semangat untuk menonton. Seperti ditantang, if he cares, why don’t I. Saya tertarik tapi tidak sebegitu tertariknya dengan film ini sampai pesan itu datang dan semua rencana untuk makan malam dan juga nongkrong bareng teman sangat bisa ditunda.

shes-beautiful-when-shes-angry-screenshot1Setengah jam sebelum film diputar, mahasiswa Goldsmiths sudah mulai menduduki posisi masing-masing. Di awal saya sempat pesimistis dan menyangka kalau film ini ujungnya hanya akan dipenuhi oleh perempuanperempuan bergaya aktivis dan kawankawan lesbian. Tapi makin dekat ke menit dimulai, makin penuh, lelaki dan perempuan dalam jumlah yang seimbang. Ruangan kapasitas 300 orang itu penuh, sampai sebagian duduk di tangga dan tiduran di bawah layar, yang penting bisa nonton.

filmShe’s Beautiful When She’s Angry dibuka dengan kata sambutan singkat dari Kepala Jurusan Human Right, “Film ini penuh kontroversi, dan inilah yang menginspirasi perjuangan perempuan di seluruh dunia. Waktu itu angkatan kami hanya ikut-ikutan gerakan dan tidak menyangka bisa berdampak sebesar ini.”

She’s Beautiful When She’s Angry bercerita tentang sejarah kemarahan para perempuan cerdas yang berkumpul dan melakukan pergerakkan perempuan dari tahun 1966 – 1971. Film ini lugas menggambarkan beberapa isu kontroversi yang muncul selama perjalanan itu, isu rasial, pilihan seksualitas dan kepemimpinan yang muncul juga menangkap semangat perjuangan dengan penuh ketegangan, skandal dan cerita lucu yang menyertainya.

Perempuan ini ga melulu mereka yang ada di universitas, tapi perempuan biasa, ibu rumah tangga yang datang rapat dengan membawa anak-anak mereka. Perlu banget untuk dicatatkan dalam sejarah, Feminisme bukan perjuangan membenci lelaki, menolak institusi pernikahan dan juga memutus generasi dengan menolak beranak.

Feminisme sejak awal pergerakannya adalah perjuangan tentang kesetaraan hak dan kesempatan yang sama dengan lelaki, dilihat sebagai subject, individu dan bukan sebagai makhluk berbeda yang bernama perempuan. Penghormatan terhadap pilihan perempuan untuk tidak menikah dan tidak punya anak, memilih mencintai sesama. Salah satu tokoh perempuan dalam film ini mengatakan,”kalau kami benci pernikahan dan tidak ingin punya anak, kami tentu tidak memperjuangan Child Care, tempat penitipan dan perawatan anak di semua kantor, lingkungan rumah, sekolah. Kalau tidak peduli pada anak, kami juga tidak perjuangkan nutrisi yang baik untuk anak-anak kami. Semua itu kami lakukan. Kami berjuang untuk akses terhadap pil KB, seperti juga hak untuk dapat upah dan kesempatan mendapatkan pekerjaan yang sama dengan lelaki.”

Dalam salah satu dialog, seorang aktivis berkata,”Kenapa tidak ada penjelasan tentang efek dari pil KB? I am sick of men controlling our body.” Tuntutan itu berujung pada penjelasan tentang indikasi dan dampak kesehatan dari konsumsi pil KB.

Film ini juga bercerita kalau melahirkan anak dalam bagian dari “nasionalism,” meneruskan generasi ras tertentu. Seperti Nazi melakukan pemurnian ras, begitu juga perempuan digunakan sebagai mesin pencetak anak untuk meneruskan sebuah generasi, ras dan bangsa tertentu.
Di akhir film, sebuah event dilakukan merayakan 40 tahun perjuangan perempuan. Lalu para aktivis perempuan ini merefleksi bahwa perjuangan mereka sama sekali belum selesai. Di tengah dunia yang disebut modern, perempuan belum lagi mendapatkan hak yang diperjuangkannya.
Saya masih hidup di antara mereka yang mengagungkan pernikahan dan punya anak menjadikan perempuan utuh. Saya pernah ditempatkan dalam satu posisi hanya untuk memenuhi kuota perempuan dalam sebuah struktur. Saya seperti berjuang dua kali lebih berat untuk mendapatkan banyak hal yang saya dapat hari ini. Lalu akan selalu ada yang menimpali, “makanya berdua, menikah, agar beban terbagi.” Selalu kembali pada lingkaran yang sama… *sigh*

Dalam percakapan dini hari dengan kawan saya dari Serbia, kami berbagi situasi yang sebenarnya tidak jauh beda. Isunya sama, bahwa nikah adalah kuncian bahagia buat perempuan. Tapi saya bilang, “kita harus kembali lagi pada perjuangan awal. Yang kadang feminis suka lupa, saya juga, adalah menghargai pilihan kawan-kawan perempuan yang memang ingin menikah dan punya anak, itu saja. Kita lupa bahwa feminism adalah soal menghargai pilihan, selama pilihan itu bukan paksaan dan dibuat secara sadar dengan segala konsekuensinya.”

In the end before we finally slept, this is still a man’s world, patriarch system, but of course it won’t stop us from fighting for our right as a woman. I am a feminist and proud of it!

Apalagi begitu lihat porsi lelaki yang menonton film ini seimbang, kalau belum benar-benar jadi feminis paling tidak mereka mau peduli. Dan saya dengan manis merekam siapa-siapa saja lelaki yang hadir di pemutaran film malam tadi *kibasponi

She's beautiful_01

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s