Satu hal yang paling nyangkut di kepala setelah pelatihan fasilitator vibrat bersama Inspirit January lalu adalah menjadi orang yang bebas dari prasangka. Ketika datang ke negara orang, bebaskan isi kepala dari prasangka yang datangnya Cuma dari “katanya.” Ga gampang memang apalagi karena begitu sampai di sini tetiba saya merasa kenapa semua orang jadi “rasis” gini? Jangan tinggal sama orang dari negara anu karena jorok, orang dari negara itu juga, mereka berisik banget, dan sebagainya. Di kampus anak-anak dari negara anu terus terusan bergerombol, menguasai kelas… ini pasti ada.
Lalu masuk di kelas political communication, ada 14 orang mewakili 12 negara; Inggris, Itali, Swedia, Australia, Israel, Amerika, Palestina, Malaysia, Indonesia, Argentina, Brasil dan Mexico. Ini kelas paling seru dari yang pernah saya bayangkan. Hanya ada dua orang dari Inggris, selebihnya membawa pengalaman dan budaya yang berbeda. Begitu perkenalan ada kawan Palestina dan Israel, semua ternyata sepikiran… ini bakal seru banget. Selama empat minggu kuliah, baru kemarin mereka berada di satu kelompok, dan akrab… Alhamdulillah…. Mungkin masalah ribuan tahun bisa selesai dimulai dengan dua kawan ini.
Terlalu tinggi mimpi kami ternyata.
Seperti biasa, saban Senin malam, kami kawan sekelas menyempatkan diri untuk nongkrong bareng. Bahasannya ya ga jauh dari isu politik, cerita jadi mengembang kemana-mana. Ini seperti belajar dari teman tentang kondisi di 12 negara ini. Tapi semalam, keriaan itu tak terjadi. Ketika saya datang, betapa bahagianya melihat kawan Israel dan Palestina ini duduk sebelahan. Begitu duduk di dekat mereka, ternyata mereka sedang berdebat, apalagi kalau bukan soal konfilik. Kawan Palestina saya adalah lelaki pendiam yang cerdas, ga pernah kedengeran bernada tinggi, sampai tadi malam. Kawan Israel saya yang cantik ini juga cerdas luar biasa, walau kadang susah banget menerima pendapat orang . Jadilah perdebatan kusir itu terjadi di atas meja bar dengan bir dan anggur. Kawan lain berusaha menengahi, tapi mba Israel malah setengah membentak, “apa yang kamu bicarakan tentang kami adalah dari perspektif lelaki kulit putih.” Teman saya untungnya ga ikutan naik pitam… kami memisahkan topic dan membiarkan mereka lanjut berdebat, sambil berdoa, semoga ada cinta di antara mereka abis ini.
Setelah setengah jam saya mendengar mereka berdebat, akhirnya pada tarikan napas keduanya, tetiba saya samber topic lain, “siapa mau ikutan ke Itali? Atau mungkin kita bisa ketemu merayakan natal bareng?” barulah kemudian debat itu berhenti. Kesepakatan terjadi, kami akan berpesta tanpa isu politik.
Hari ini, kisah itu dibagi ke beberapa teman sekelas yang ga sempat hadir semalam. Kawan dari Amerika menyayangkan kalau sampai debat politik kita terhenti Cuma karena dua kawan ini bertensi tinggi. Justru karena kami sekelas belajar politik, seru abis untuk muntahmuntahin semua kebusukan politik di negeri masing-masing. Hmmm iya juga…
Teman dari Malaysia lalu bilang,”mari kita tidak berpihak pada siapa pun. Buat saya ini kali pertama punya teman Israel, saya ingin kenal mereka lebih dekat dari kawan ini, siapa tahu apa yang selama ini kita “diberitahu” adalah salah.” Saya bilang, terlepas apa yang terjadi di sana dan seberapa besar pengetahuan saya soal perebutan teritori Palestina oleh Israel, semuanya korban, dua kawan kami itu juga korban dari sejarah panjang politik busuk berkedok agama dan mereka jelas lebih tahu daripada saya. Jadi siapalah saya menghakimi kawan dari Israel ini, atau memihak buta kawan dari Palestina.
Saya datang dengan kepala bebas nilai, bebas prasangka, berteman dengan siapa pun tanpa memilih. Setiap kawan adalah sumber pengetahuan buat saya.
Lalu saya berbisik pada kawan dari Australia, “di Indonesia sebagian dari kami percaya bahwa “religion is your genital, keep it to yourself.”
Dia tertawa puas sekali, “please do tell that to the world Nita.”
Well I am now!
Bebaskan diri dari prasangka, dengan begitu baru kamu bisa menerima semua pengetahuan dan pengalaman dengan terbuka…