Katong Orang Saudara – Catatan Perjalanan ke Kota Ambon

Standar

Perjalanan saya kali ini lebih mirip perjalanan spiritual, bukan mencari Tuhan, sesuatu yang ghaib sifatnya, tapi mencari manusia yang nyata adanya. Kota Ambon yang cantik, rumah-rumah berdiri di atas tebing yang menghadap ke Teluk Ambon, sedikit banyak mirip lah seperti permukiman warga di Yunani atau Itali. Kalau dari arah Bandara ke kota Ambon, sebelah kiri bukit, sebelah kanan laut. Jalan mendatar di kota ini sedikit saja, persis yang dekat laut, selebihnya naik turun seperti di puncak Jawa Barat.

Saya tidak sempat melihat banyak tempat wisata dalam perjalanan tiga hari di Ambon. Tapi saya berkesempatan luar biasa berkunjung ke tempat-tempat yang dulu terbakar karena konflik dan bertemu para penyintas. Kota cantik ini menderita karena konflik agama sebanyak tiga kali, 1999, 2005 dan 2011. Kalau terlihat aman, manalah aman, kalau kau tinggal di kampung yang terpisah satu sama lain oleh agama. Kampung A, mayoritas Kristen, kampung B mayoritas Islam. Kampung C yang berada di perbatasan antara A dan B dan masyarakatnya mencoba hidup bersama dalam perbedaan, adalah yang paling menderita ketika konflik terjadi. Diserang kiri dan kanan, dibakar rumah-rumah dan tempat ibadah juga sekolah, lalu dibunuhi orang-orang dengan kejam. Sama saja, orang islam dan Kristen menjadi korban, padahal mereka satu suku, satu keluarga. Dalam perang tak ada yang menang, semua kalah dan menderita, terutama anak-anak. Bukit-bukit digerus untuk pemukiman baru, merelokasi para penyintas akibat konflik.

20141113_100524

Kamu yang sibuk menolak penghilangan kolom agama dalam KTP, kemarilah, kemari ke Ambon, biar kuceritakan tentang pengalaman orang-orang yang dibunuh karena agama yang tertulis dalam secarik kertas sialan itu. Sweeping KTP terjadi dimana-mana saat konflik, kamu tidak bisa melintasi daerah yang berbeda dengan kepercayaanmu, itu konyol, iya betul! Tapi sungguh terjadi. Bahkan hari ini, sulit berdamai dengan kenyataan pahit, bahwa anak-anak harus memilih sekolah pun berdasarkan agama, wilayah desa dengan mayoritas agama tertentu…

Pak Onggoh supir saya di Ambon bercerita dengan tangan yang sibuk menunjuk kiri dan kanan… “kamu lihat nak, batas kampung muslim dan Kristen adalah gang kecil ini.” Tanda nya adalah Mesjid dan Gereja yang berseberangan. Kata Pak Onggoh, kami ini bahkan satu marga pun berbeda agama itu tidak masalah, kita ini kakak beradik, bersaudara. Kenapa sekarang harus terpisah?

20141113_101654

Saya bertemu dengan para ibu di kampung yang heterogen, mereka saling melindungi, tapi apakah mereka merasa aman?, salah satunya menjawab “sekarang ada pos tentara kak di depan dan belakang kampung, kami merasa sedikit aman.”

Tidak ada yang mau bertengkar dengan saudaranya, tidak ada yang mau kehilangan kakak atau adik karena perbedaan kepercayaan. Semua bersaudara. Lalu kenapa harus terpisah, desa A Kristen, desa B muslim. Aman, tapi ini seperti api dalam sekam, menunggu kapan semua hangus bersamaan.

Seperti kawan-kawan di Ambon bercerita, kalau menteri dalam negeri dan kementerian agama bersepakat menghilangkan kolom agama dalam KTP, paling tidak satu harapan baik buat mencegah konflik dan sweeping KTP terulang. Mencegah orang-orang tak berdosa mati di ujung parang orang-orang gila yang mengatasnamakan agama dan meniadakan nyawa saudara.

Katong orang saudara – pesan Pak Onggoh, selamanya saudara.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s