Kalau kita punya banyak jalan keluar dalam hidup ini, kenapa harus stuck pada satu masalah yang itu melulu.
Cinta. Who doesn’t need one.
Tapi apa harus ngoyo mencarinya, apa harus terikat dalam sebuah tali yang disebut pernikahan. Eh begitu kah analogi yang diperkenalkan pada kita, pernikahan itu tali yang mengikat dua pribadi. Kalau seseorang sudah merasa bahagia dengan kesendiriannya mengapa harus memaksanya membagi hidup dengan orang lain?
Pertanyaan itu keluar dari mulut teman saya ketika kami bertemu setelah empat tahun di atas meja penuh waffle green tea. Dua scope green tea dan plain ice cream. Saya bilang kenapa orang Korea senang sekali makan dalam porsi besar sementara badan mereka tetap bisa langsing. Dia ga menjawab kecuali mencoel waffle dari piring saya.
“Apa kamu punya seseorang yang menantimu pulang nit?,” dia bertanya sambil menyuap waffle. Pertanyaan itu ujugujug yang ga saya duga. Karena menurut saya yang mestinya dia tanya pertama adalah,gimana workshopnya, udah liat apa aja di kota ini.
“Ada. Kami sedang merencanakan pernikahan tahun depan. Insya Allah. Kamu?”
“Single dan aku bahagia dengan hidupku sekarang. Seperti bebas dari urusan cinta. Ada sih perempuan yang on and off, dia juga bebas kapan mau datang.”
“Ada rencana untuk serius?”
“I always serious. Tapi bukan berarti harus menikah. Kenapa semua orang harus menikah? Kamu ingin punya anak ya?
“Iya lah. Cukup 1 saja, karena biaya mahal. Aku juga ga kepikiran menikah sebelumnya, not until recently ketika bertemu dengannya dan aku rasa, inilah waktunya. Kenapa ingin punya anak, ya ingin saja. I am getting old, I am 36.”
Matanya terbelalak. Dia pikir saya masih di akhir 20an. Hua tersanjung, awet muda.
“Kalau pun aku menikah suatu hari nanti, mungkin di saat usiaku 40tahun, atau malah 50 tahun. Aku menikmati hidup sendiri, bekerja dan menabung untuk masa depan. Tapi menikah ga ada dalam agenda. Mungkin nanti. Apalagi keinginan punya anak, tak terpikirkan”
“Selama kamu bahagia dengan pilihanmu, ga usah terpengaruh oleh pilihan orang lain.”
Dia tersenyum. Tapi entah kenapa saya masih merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Barangkali dia sebenarnya kesepian, tapi prinsip hidup sendiri membuatnya tak mengakui itu. Saya mungkin salah, tapi bisa saja benar kan.
Menikah atau tetap sendiri, dua duanya bukan pilihan mudah. Setiap pilihan ada konsekuensinya, dan selama siap menanggung itu, kenapa tidak. Yang pasti lakukan apa yang membuatmu bahagia kawan.
Kami berpisah di perempatan jalan, sembari dia bimbang saya akan sendirian berkeliaran di lingkungan yang asing. Dia ada kencan malam itu. A man had a need, katanya sambil mengedipkan mata pada saya. Peluk jauh sobat, sampai jumpa di bagian lain dari dunia ini.