Penjajah Itu Bernama Beras

Standar

Sejak kapan makan nasi? Memori saya mentok pada kelas tiga sekolah dasar, saat saya dikejarkejar mami untuk disuapi nasi. Adik saya Lina selalu makan nasi disisipi es kenyot sementara saya perlu dicekokin mami dengan mata melotot supaya mangap. Barangkali saat itu saya merasa tak doyan nasi, tapi tak bisa protes. Saya ingat teman sepermainan waktu kecil bernama Wawan yang takut banget sama butiran nasi, tapi dia doyan banget sama lontong.

Papi selalu bercerita masa susah saat dia kecil harus makan tiwul atau nasi jagung. Saya tanya waktu itu, enak ga pi? Dia bilang tak ada pilihan untuk bilang enak atau tidak, yang penting kenyang. Lalu beras yang beliau bisa berikan pada kami kemudian menjadi lambang penaikan status bahwa hidupnya sudah berubah lebih baik. Dan ketika saya tidak menghabiskan nasi di piring, dia akan sangat marah dan bilang,”banyak yang tak bisa makan di negeri ini, dan kamu buangbuang nasi.”
Lewat bangku sekolahan, saya belajar tentang Indonesia yang kaya dengan berbagai suku dengan makanan lokalnya. Ada sagu, singkong, keladi dan ubi. Lalu saya ketemu dengan Mama Loretta dari Nusa Tenggara Timur yang kembali pada sorgum, biji-bijian yang tak beda fungsinya dengan gandum. Lalu kenapa saya cuma kenal beras, perut ini hanya “dijajah” beras. Bahkan sebelum benarbenar belajar, saya cuma tahu sagu itu dipakai papi buat lem kanji saat menyetrika celana dinasnya supaya garis itu benarbenar lurus dan licin, dan dipakai mami untuk bikin pacar cina campuran kolak yang dijualnya saat ramadhan tiba.

Kendari 2004, pertama kalinya saya makan papeda. Nikmat! Dilanjut 2011 kemarin di Green Food Festival II, lagi Nikmat! Kemarin malam saya makan untuk ketiga kalinya di sini di Biak, Papua, tempat pohon sagu gagah bertumbuh di seluruh sudut pulau. Rasanya tetap sama, enak!

Minggu lalu saya bertemu kawan dari Pulau Wakatobi, dia bilang di sana beras hanya dimakan untuk dua alasan; pertama karena sakit dan berasnya dijadikan bubur, kedua kalau ada pesta pernikahan. Sehari-hari mereka makan keladi yang menurutnya jauh lebih mengenyangkan dan murah.

Perbincangan saya dengan kawan dari Wakatobi berlanjut soal berasisasi atau berasnisasi buat kami sama saja artinya, penjajahan lewat beras. Negara ini membuat patokan kesejahteraan dan gizi hanya pada asupan nasi, sehingga kata teman saya Putri, kalau ada pulau-pulau di Indonesia Timur bertanda merah dalam peta kerawanan pangan, itu karena patokannya adalah beras! Padahal makanan asli mereka bukan beras, tapi keladi, sagu, sorgom atau ubi.

Di Biak beras raskin dijual dengan harga 4ribu rupiah/kilogram, didatangkan dari Makasar. Bayangkan kalau musim ombak sedang tinggi atau karena cuaca kapal pengantar beras tak datang. Saya berkesempatan bercakap dengan saudara-saudara baru saya di Biak tentang beras.

Saya : “Kawan-kawan masih makan sagu sehari-hari?”
Papuans : “Tidak. Kami makan beras.”
Saya : “Kenapa beras?”
Papuans : “Pemerintah ajar kami makan beras.”
Saya : “Tapi enak mana beras dengan sagu?”
Papuans : “Ya ENAK SAGU.”
Saya : “Lalu kenapa tinggalkan sagu?”
Papuans : “Karena pemerintah ajar kami makan beras.”

Saya tersenyum miris. Beginikah cara bangsa ini dipaksa untuk bersatu?
IMG-20130414-00742

Iklan

2 responses »

  1. waa kok langsung membuat saya berpikir ya tentang hal itu. barru tau lo kalo mereka ternyata diiarahkan begitu. ya mungkin kalo lebih suka sagu mending makan sagu saja. btw, terimakasih ceritanya

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s