Perempuan dan Hujan

Standar

Apa yang menarik dari hujan, mendungnya, airnya yang menggedor kaca dan membasahi tanah, bau tanah, bau comberan sampai anyir yang dibawa bersamanya atau sambaran kilat di langit yang mirip blitz kamera fotoku? Apa yang menarik dari hujan?

Pertanyaan itu selalu muncul saban kali aku lihat perempuan berkepang dua, kolega di kantorku yang selalu sibuk membuat kopi hitam dengan takaran satu sendok makan penuh, ditambah setengah sendok makan gula dan seperempat kreamer, dibawanya gelas kopi di bawah air panas dispenser lalu dengan sedikit terbirit-birit dia akan mengambil posisi duduk di sofa yang menempel pada jendela. Untuk apa? Ya untuk menikmati hujan. Dia menggenggam gelas kopi panasnya dekat dengan dada, menghirup bau kopi yang semerbak di ruang tamu sambil mata yang tak berpaling dari jendela kaca. Sesekali matanya terpejam mendengarkan lebih jernih pada suara air yang jatuh dari langit, kadang pelan tapi belakang lebih sering berbunyi kencang memecah air yang jatuh ke tanah, jumlahnya terlalu banyak. Jangan tanya padaku, mana mengerti aku soal debit air hujan. Pokoknya yang kutahu, belakangan hujannya lebih deras dari yang biasa. Buatku mengkhawatirkan tapi tidak untuk perempuan itu.  Dia justru akan menghentikan semua kegiatannya hanya demi hujan…

Sementara aku, akan mengeryitkan dahi menahan agar tak kaget begitu dengar suara petir, meski tak pernah berhasil. Tetap saja aku akan loncat dari posisiku berdiri mau pun duduk begitu bunyi agung itu membahana di angkasa. Spontan aku akan menutup kedua kupingku rapat-rapat lalu aku merapat pada tembok atau kasur atau apa pun agar ruang di sekitarku menyempit. Begitu aku lihat kilatan cahaya petir dari balik jendela, aku akan kabur sembunyi dimana pun aku bisa, berkejar-kejaran dengan suara petir yang menyertai cahaya sepersekian detik, jelas aku kalah telak dan selalu terkaget-kaget.

Aku tak suka pada hujan yang selalu airnya selalu membuatku demam dan kepala pening serta kaki dikerumuni kutu air. Aku tak suka pada hujan yang membuat jalanan menuju rumah dan kantor ini banjir. Meski saban tahun ada penambalan jalan di sana-sini tetap saja hanya bertahan sekian bulan, begitu musim hujan tiba, jalanan seperti wajah bekas cacar besi, bopeng dimana-mana, membuat kubangan dan banjir. Belum lagi baunya… sepertinya semua bau yang disembunyikan manusia, keluar saat banjir, ya bau bangkai, anyir darah sampai bau busuk sampah yang menumpuk pada saluran air.

Tapi perempuan itu, tetap akan duduk manis sambil mendekap gelas kopi dan mata yang menatap keluar jendela menikmati hujan. Sekali waktu aku pernah melihat perempuan itu menyeka air mata persis ketika dia menikmati hujan. Sekali waktu lain, teman sekantor bercerita kalau perempuan itu pernah berlari ke halaman belakang dan main hujan sambil merentangkan tangan dan menari-nari. Dia mengajak kami semua untuk bergabung bersamanya bermain di bawah derasnya hujan. Gila!

Dia melirikku…. Aku segera bersembunyi di balik rak buku….

“Dio, kemari…. Hujan Di… syahdu deh,” dia memanggilku sambil melambaikan tangannya. Dia bergeser untuk memberikan ruang untukku duduk di dekatnya.

Aku menggeleng dan berkata,”Aku tak suka hujan bu, apalagi bunyi geledeknya, bikin jantungan.”

Dia kembali melemparkan pandangannya ke luar jendela. Jemarinya kini menempel pada dinding kaca yang basah karena kanopi teras tak mampu menghadang air hujan yang terbawa angin kencang. Aku yakin telah melihatnya menangisi hujan. Ingin rasanya aku bertanya kenapa hujan begitu berarti untuknya, tapi pertanyaan itu tak pernah sanggup aku luncurkan di hadapannya. Dia bosku dan aku baru dua bulan di sini. Pertanyaanku terlalu pribadi.

Hujan mereda, dia beranjak dari duduknya dan menghampiriku di meja makan merangkap meja rapat kami. Kantor ini adalah rumah besar peninggalan keluarga perempuan itu. Dia mengambil posisi tepat di depanku.

“Ayahku meninggal disambar petir di lapangan golf, beliau kalah cepat berlari menghindari petir. Anakku meninggal kesentrum kabel tiang listrik yang putus karena disambar petir. Suamiku pergi meninggalkanku saat hujan deras persis setelah penguburan anakku. Aku tak sedang mencintai hujan, aku merayakan duka bersamanya.”

Perempuan itu pergi dan menutup pintu ruang kerjanya.

Heavy Downpour

Bandung, 05 Februari 2013

Iklan

2 responses »

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s