lonely planet ga melulu membantu dalam perjalanan ini. singkirkan saja jauh-jauh. kataku padanya sambil kutepis lonely planet yang tebal itu. empat ratus halaman cuma untuk memenuhi tas punggungku saja. lonely planet itu seperti konveksi, seperti itc mal atau iklan bedak dan pemutih, semua orang digiring untuk melakukan hal yang sama. kemana kau pergi, selalu ketemu orang banyak karena mereka mengikuti petunjuk di lonely planet. di meja-meja restaurant ada lonely planet, turis-turis berbudget rendah. Iya seperti kami, tapi kan dia tahu aku tak suka jadi bagian yang kebanyakan itu. Buang jauh-jauh lonely planet ini. Kataku dan kali ini aku terlalu keras menepis tangannya sampai lonely planet itu terjatuh ke trotoar becek di depan taman walikota bandung.
Dia tak menjawab, mukanya merah karena marah. Dipungutnya lonely planet yang sampulnya kotor. Aku berusaha membersihkannya tapi buku itu buru-buru direnggutnya dan didekapnya erat-erat. dia melotot padaku dan meninggalkanku yang mengejarnya tertatih-tatih sambil berteriak meminta maaf. Sesekali dia berhenti untuk membaca peta dan aku diam tak lagi banyak bicara.
Aku mengikutinya seperti perempuan jepang yang mengikuti lelakinya dari belakang karena tradisi. aku menyesal karena membuatnya marah, tapi aku tak menyesal untuk menyingkirkan lonely planet itu. Buatku setiap perjalanan harus istimewa tidak diatur dalam runut halaman seperti buku. Menyesatkan diri adalah cara terbaik menikmati perjalanan, bertemu orang baru, menemukan hal luar biasa dan mendapatkan pengalaman di luar yang diceritakan orang banyak.
Dia terus menelusuri jalan, menyebrang di gedung bank Indonesia yang cantik peninggalan belanda, berbelok ke arah kiri, melintas rel kereta, menyebrang jalan dan di sana, di jalan braga, senyumnya kembali mengembang. Aku masih diam tanpa tanya dan hanya mengikutinya berjalan, meski lelah mendera aku bahkan tak berani berhenti barang sekejap.
Dia berhenti di sebuah restaurant yang masih membereskan meja dan bangku. Sudah buka? Tanya nya. Pelayan di restaurant itu mempersilakan kami masuk. Dia mengambil meja di luar bangunan restaurant untuk menikmati jalan dan pagi. Dia memesan tanpa bertanya apa mauku. Sebenarnya sudah muak aku dalam diam.
Pesanannya keluar, satu piring kue bundarbundar dan dua teh panas.
“Bitter ballen and Earl Grey Tea. I miss my home and why is it so hard for you to even understand it.”