Bagaimana berucap selamat tinggal pada dua pohon sawo kecik yang berdiri gagah di antara jalan masuk kedai, yang indah ditembak lampu sorot pada malam hari.
Bagaimana berucap selamat tinggal pada kedai yang di sana aku habiskan obrolan panjang, pendek, serius, santai, becanda, tawa dan berbagi duka dengan sahabat? di sana menghabiskan berpiring-piring sarapan, makan siang dan makan malam.
Bagaimana berucap selamat tinggal pada burung gereja yang suka mampir di pinggir jendela, bernyanyi indah menyambut mentari pagi yang menyorot kejam kadang?
Sepuluh tahun sepuluh bulan….
Ini rumah kedua bagiku. Semangat pagi bertemu para sahabat, berdiskusi dengan yang kutuakan, berteriak-teriak bersama Adam Levine sepanjang hari. Tempatku belajar dewasa, menakar rasa, membaca peta konflik, mengatasi emosi, mengasah ide bahkan menemukan cinta berkali-kali.
Aku jatuh cinta pada tempat ini pada pandangan pertama, pada hari pertama melangkahkan kaki, pada pertama kali bicara pada bapak kepala sekolah.
Karena cinta, aku bertahan sepuluh tahun sepuluh bulan. Karena cinta ada percaya pada perjuangan yang dijalankan. Karena cinta tak ada secuil amarah tersisa saat harus berucap selamat tinggal.
Aku pergi karena harus pergi. Tibatiba gada mementung kesadaranku, sudah sepuluh tahun sepuluh bulan, saatnya beranjak pergi, belajar lagi tentang hidup, menemukan lagi pengalaman baru, saatnya menantang diri sendiri. Apa jadinya kalau aku jauh dari rumah?
Ini rumahku, entah besok, bulan depan, tahun depan, suatu hari akan kembali. Mungkin bukan untuk tinggal lagi, tapi melepas rindu pada sawo kecil, burung gereja, bunga kamboja, bangku kedai, pelukan teman, jabat erat kepala sekolah.
Aku pergi dulu yaaa… menuju sekolah baru. Doakan lulus dan cukup bekal untuk melanjutkan hidup…
Rindunya sudah datang bahkan saat aku belum benar-benar pergi…